Posted by Admin pada01/06/2013
Peristiwa ini terjadi pada zaman Bani Israil jauh sebelum diutusnya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Beliau mengisahkannya kepada kita berdasarkan wahyu dari Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
بَيْنَمَا
ثَلاَثَةُ نَفَرٍ يَتَمَشَّوْنَ أَخَذَهُمُ
الْمَطَرُ فَأَوَوْا إِلَى غَارٍ فِي
جَبَلٍ فَانْحَطَّتْ عَلَى فَمِ غَارِهِمْ
صَخْرَةٌ مِنَ الْجَبَلِ فَانْطَبَقَتْ
عَلَيْهِمْ فَقَالَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ:
انْظُرُوا
أَعْمَالاً عَمِلْتُمُوهَا صَالِحَةً
لِلهِ فَادْعُوا اللهَ تَعَالَى بِهَا،
لَعَلَّ اللهَ يَفْرُجُهَا عَنْكُمْ.
فَقَالَ
أَحَدُهُمْ:
اللَّهُمَّ
إِنَّهُ كَانَ لِي وَالِدَانِ شَيْخَانِ
كَبِيرَانِ وَامْرَأَتِي وَلِي صِبْيَةٌ
صِغَارٌ أَرْعَى عَلَيْهِمْ فَإِذَا
أَرَحْتُ عَلَيْهِمْ حَلَبْتُ فَبَدَأْتُ
بِوَالِدَيَّ فَسَقَيْتُهُمَا قَبْلَ
بَنِيَّ، وَأَنَّهُ نَأَى بِي ذَاتَ
يَوْمٍ الشَّجَرُ فَلَمْ آتِ حَتَّى
أَمْسَيْتُ فَوَجَدْتُهُمَا قَدْ نَامَا
فَحَلَبْتُ كَمَا كُنْتُ أَحْلُبُ
فَجِئْتُ بِالْحِلاَبِ فَقُمْتُ عِنْدَ
رُءُوسِهِمَا أَكْرَهُ أَنْ أُوقِظَهُمَا
مِنْ نَوْمِهِمَا وَأَكْرَهُ أَنْ
أَسْقِيَ الصِّبْيَةَ قَبْلَهُمَا،
وَالصِّبْيَةُ يَتَضَاغَوْنَ عِنْدَ
قَدَمَيَّ، فَلَمْ يَزَلْ ذَلِكَ دَأْبِي
وَدَأْبَهُمْ حَتَّى طَلَعَ الْفَجْرُ،
فَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنِّي فَعَلْتُ
ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَافْرُجْ
لَنَا مِنْهَا فُرْجَةً نَرَى مِنْهَا
السَّمَاءَ.
فَفَرَجَ
اللهُ مِنْهَا فُرْجَةً فَرَأَوْا مِنْهَا
السَّمَاءَ، وَقَالَ الْآخَرُ:
اللَّهُمَّ
إِنَّهُ كَانَتْ لِيَ ابْنَةُ عَمٍّ
أَحْبَبْتُهَا كَأَشَدِّ مَا يُحِبُّ
الرِّجَالُ النِّسَاءَ وَطَلَبْتُ
إِلَيْهَا نَفْسَهَا فَأَبَتْ حَتَّى
آتِيَهَا بِمِائَةِ دِينَارٍ فَتَعِبْتُ
حَتَّى جَمَعْتُ مِائَةَ دِينَارٍ
فَجِئْتُهَا بِهَا فَلَمَّا وَقَعْتُ
بَيْنَ رِجْلَيْهَا قَالَتْ:
يَا
عَبْدَ اللهِ، اتَّقِ اللهَ وَلاَ تَفْتَحِ
الْخَاتَمَ إِلاَ بِحَقِّهِ.
فَقُمْتُ
عَنْهَا، فَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنِّي
فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ
فَافْرُجْ لَنَا مِنْهَا فُرْجَةً.
فَفَرَجَ
لَهُمْ، وَقَالَ الْآخَرُ:
اللَّهُمَّ
إِنِّي كُنْتُ اسْتَأْجَرْتُ أَجِيرًا
بِفَرَقِ أَرُزٍّ فَلَمَّا قَضَى عَمَلَهُ
قَالَ:
أَعْطِنِي
حَقِّي فَعَرَضْتُ عَلَيْهِ فَرَقَهُ
فَرَغِبَ عَنْهُ، فَلَمْ أَزَلْ أَزْرَعُهُ
حَتَّى جَمَعْتُ مِنْهُ بَقَرًا
وَرِعَاءَهَا، فَجَاءَنِي فَقَالَ:
اتَّقِ
اللهَ وَلاَ تَظْلِمْنِي حَقِّي.
قُلْتُ:
اذْهَبْ
إِلَى تِلْكَ الْبَقَرِ وَرِعَائِهَا
فَخُذْهَا.
فَقَالَ:
اتَّقِ
اللهَ وَلاَ تَسْتَهْزِئْ بِي.
فَقُلْتُ:
إِنِّي
لاَ أَسْتَهْزِئُ بِكَ، خُذْ ذَلِكَ
الْبَقَرَ وَرِعَاءَهَا.
فَأَخَذَهُ
فَذَهَبَ بِهِ، فَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ
أَنِّي فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ
وَجْهِكَ فَافْرُجْ لَنَا مَا بَقِيَ.
فَفَرَجَ
اللهُ مَا بَقِيَ
Ketika
ada tiga orang sedang berjalan, mereka ditimpa oleh hujan. Lalu
mereka pun berlindung ke dalam sebuah gua di sebuah gunung. Tiba-tiba
jatuhlah sebuah batu besar dari gunung itu lalu menutupi mulut gua
mereka. Lalu sebagian mereka berkata kepada yang lain: “Perhatikan
amalan shalih yang pernah kamu kerjakan karena Allah, lalu berdoalah
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan amalan itu. Mudah-mudahan
Allah menyingkirkan batu itu dari kalian.”
Lalu
berkatalah salah seorang dari mereka: “Ya
Allah, sesungguhnya aku mempunyai dua ibu bapak yang sudah tua renta,
seorang istri, dan anak-anak yang masih kecil, di mana aku
menggembalakan ternak untuk mereka. Kalau aku membawa ternak itu
pulang ke kandangnya, aku perahkan susu dan aku mulai dengan kedua
ibu bapakku, lantas aku beri minum mereka sebelum anak-anakku. Suatu
hari, ternak itu membawaku jauh mencari tempat gembalaan. Akhirnya
aku tidak pulang kecuali setelah sore, dan aku dapati ibu bapakku
telah tertidur. Aku pun memerah susu sebagaimana biasa, lalu aku
datang membawa susu tersebut dan berdiri di dekat kepala mereka,
dalam keadaan tidak suka membangunkan mereka dari tidur. Aku pun
tidak suka memberi minum anak-anakku sebelum mereka (kedua
orangtuanya, red.) meminumnya. Anak-anakku sendiri menangis di bawah
kakiku meminta minum karena lapar. Seperti itulah keadaanku dan
mereka, hingga terbit fajar. Maka kalau Engkau tahu, aku melakukan
hal itu karena mengharapkan wajah-Mu, bukakanlah satu celah untuk
kami dari batu ini agar kami melihat langit.”
Lalu
Allah bukakan satu celah hingga mereka pun melihat langit.
Yang
kedua berkata: “Sesungguhnya
aku punya sepupu wanita yang aku cintai, sebagaimana layaknya cinta
seorang laki-laki kepada seorang wanita. Aku minta dirinya
(melayaniku), tapi dia menolak sampai aku datang kepadanya
(menawarkan) seratus dinar. Aku pun semakin payah, akhirnya aku
kumpulkan seratus dinar, lalu menyerahkannya kepada gadis itu.
Setelah aku berada di antara kedua kakinya, dia berkata: ‘Wahai
hamba Allah. Bertakwalah kepada Allah. Jangan engkau buka tutup
(kiasan untuk keperawanannya) kecuali dengan haknya.’ Maka aku pun
berdiri meninggalkannya. Kalau Engkau tahu, aku melakukannya adalah
karena mengharap wajah-Mu, maka bukakanlah untuk kami satu celah dari
batu ini.”
Maka
Allah Subhanahu wa Ta’ala pun membuka satu celah untuk mereka.
Laki-laki
ketiga berkata: “Ya
Allah, sungguh, aku pernah mengambil sewa seorang buruh, dengan upah
satu faraq1 beras. Setelah dia menyelesaikan pekerjaannya, dia
berkata: ‘Berikan hakku.’ Lalu aku serahkan kepadanya beras
tersebut, tapi dia tidak menyukainya. Akhirnya aku pun tetap
menanamnya hingga aku kumpulkan dari hasil beras itu seekor sapi dan
penggembalanya. Kemudian dia datang kepadaku dan berkata:
‘Bertakwalah kepada Allah, dan jangan zalimi aku dalam urusan
hakku.’
Aku
pun berkata: ‘Pergilah, ambil sapi dan penggembalanya.’ Dia
berkata: ‘Bertakwalah kepada Allah dan jangan mempermainkan saya.’
Aku pun berkata: ‘Ambillah sapi dan penggembalanya itu.’ Akhirnya
dia pun membawa sapi dan penggembalanya lalu pergi. Kalau Engkau tahu
bahwa aku melakukannya karena mengharap wajah-Mu, maka bukakanlah
untuk kami apa yang tersisa.”
Maka
Allah pun membukakan untuk mereka sisa celah yang menutupi.
Itulah
kisah yang diceritakan oleh beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Sebuah kisah yang di dalamnya sarat dengan pelajaran yang sangat
berharga. Dalam
kisah ini terkandung dalil tentang tawassul (perantara) yang
dibolehkan, yaitu dengan amal shalih yang pernah dikerjakan.
Orang
pertama bertawassul kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan
baktinya kepada kedua orangtuanya. Dia seorang penggembala, dan
makanan pokoknya tergantung kepada susu ternaknya. Kebiasaan orang
ini adalah memerah susu itu sesudah dia pulang dan mulai memberi
minum kepada kedua orangtuanya sebelum anak dan istrinya.
Inilah
salah satu bentuk bakti kepada ibu dan bapak.
Betapa
banyak di antara manusia saat ini yang berbakti kepada orangtua
sesuai keridhaan anak dan istrinya. Mereka mendahulukan anak dan
istrinya, kemudian baru berbakti kepada ibu bapak mereka. Yang lebih
menyedihkan lagi, sebagian mereka lebih suka menitipkan ibu bapaknya
di panti-panti jompo.
Tidak
takutkah mereka dengan peringatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam sebuah hadits, ketika beliau naik ke atas mimbar sambil
mengucapkan amin, setiap kali menapakkan kaki di atas mimbarnya? Para
sahabat yang begitu antusias dengan kebaikan, bertanya kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Apa
yang anda aminkan, wahai Rasulullah?”
Beliau
berkata: “Jibril datang kepadaku lalu berkata –di antaranya–: 
رَغِمَ
أَنْفُ امْرِئٍ أَدْرَكَ وَالِدَيْهِ
أَوْ أَحَدَهُمَا فَلَمْ يُدْخِلاَهُ
الْجَنَّةَ، قُلْتُ آمِيْن
‘Alangkah
celakanya seseorang yang mendapati kedua orangtuanya atau salah
satunya, namun keduanya tidak menyebabkan dia masuk ke dalam jannah.’
Aku pun berkata: ‘Amiin’.”2
Adapun
kebiasaan si penggembala ini, dia menjauh untuk mencari ladang
gembalaan ternaknya, dan tidak kembali kecuali sesudah malam agak
larut. Dia pun memerahkan susu untuk ibu bapaknya yang ternyata telah
tertidur. Dia tidak suka membangunkan mereka dan tidak mau memberikan
susu itu untuk anaknya. Akhirnya dia pun berjaga sepanjang malam itu
dengan susu itu masih di tangannya, sedangkan anaknya menangis di
bawah kakinya.
Sungguh,
hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala yang tahu betapa sulitnya keadaan
si penggembala malam itu. Jauh-jauh dia menggembalakan kambing, lalu
bergegas pulang dan belum sempat makan malam, sementara anaknya
menangis di bawah kakinya. Gambaran yang sangat agung yang
ditunjukkan oleh iman, hingga membawanya sampai pada tingkatan
demikian tinggi karena baktinya kepada ibu bapaknya dan semangatnya
melakukan hal itu, sehingga menjadi salah satu sebab Allah Subhanahu
wa Ta’ala membuka sedikit celah yang menutupi gua itu.
Ini
adalah peringatan bagi umat ini, sekaligus anjuran agar berbakti
kepada ibu bapaknya dan bersegera menjalankannya.
Kemudian
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan kisahnya.
Orang
kedua, dia bertawassul kepada Rabbnya dengan rasa takutnya kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala. Rasa takut itu mendorongnya untuk
meninggalkan perbuatan keji dan bujukan syahwat. Dia begitu mencintai
dan ingin memiliki putri pamannya, bahkan membujuk gadis itu agar mau
mengikuti keinginannya, namun wanita itu menolak.
Pada
suatu ketika wanita itu ditimpa kesulitan ekonomi. Hal ini
mendorongnya datang menemui si pemuda. Tapi keadaan ini seolah
menjadi sebuah kesempatan baik bagi si pemuda agar melampiaskan
syahwatnya. Akhirnya, dia membujuk wanita agar menuruti keinginannya
dan dia siap membantunya. Dengan terpaksa, wanita itu meluluskan
keinginan si pemuda setelah dia menerima sejumlah uang yang cukup
besar dan diserahkan sebelum dia melayani si pemuda.
Akan
tetapi, di saat pemuda itu sudah siap untuk melakukan segala perkara
yang hanya layak dilakukan oleh suami kepada istrinya, dan tidak ada
lagi yang akan mencegah si pemuda berbuat apa yang diinginkannya
terhadap tubuh wanita itu, tiba-tiba wanita itu menangis dan
bergetar. Pemuda itu bertanya: “Ada apa?” Si wanita mengatakan
bahwa dia takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena dia belum
pernah melakukan perbuatan keji (zina) sebelum itu. Mendengar ucapan
wanita tersebut, pemuda itu segera berdiri dan meninggalkan si wanita
yang sangat dicintainya serta harta yang diberikannya untuk si
wanita.
Itulah
keimanan, yang mendorongnya meninggalkan perbuatan zina. Padahal dia
mampu melakukannya, bahkan semua sarana dan fasilitas serta situasi
sangat mendukung keinginannya. Tetapi, iman dan rasa takutnya kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala menuntutnya segera meninggalkan perbuatan
keji itu dan bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sungguh
sangat disayangkan, sebagian anak-anak kaum muslimin, justru
melangkah menuju perbuatan keji ini. Lebih celaka lagi, semua dikemas
dengan label Islam; Pacaran Islami. Bahkan para orangtua mendukung
perbuatan tersebut. Mereka merasa bangga bila anak gadisnya
bergandengan atau berduaan dengan seorang pemuda, entah teman
sekolahnya atau hasil perkenalan di sebuah tempat. Sementara pada
diri para pemuda dan pemudinya, rasa minder akan menghinggapinya jika
mereka tidak mempunyai pacar.
Jadi,
seolah-olah dalam Islam perzinaan itu sah-sah saja. Na’udzu billahi
min dzalik. Maha Suci Allah dari kedustaan yang mereka ada-adakan.
Tapi,
lihatlah bagaimana pemuda itu. Dalam keadaan sudah hampir
melakukannya, terhadap wanita yang dicintainya, tanpa ada yang
merintangi. Ternyata dia segera beranjak pergi meninggalkan si wanita
dan membiarkan harta itu untuknya. Itulah taubat yang membasuh dosa.
Rasa
takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala membuat laki-laki itu
menjauhi putri pamannya itu, padahal dia adalah wanita yang paling
dicintainya. Wanita yang memberi kesempatan kepada dirinya untuk
berbuat apa saja, tapi juga mengingatkannya agar bertakwa kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala. Wanita itu mengingatkannya kepada Dzat
yang dirinya adalah hamba sahaya-Nya. Wanita itu mengingatkannya
kepada Allah: “Wahai hamba Allah, bertakwalah kepada Allah!”
Artinya, buatlah antara dirimu dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala
sebuah pelindung, dengan menjalankan perintah dan menjauhi
larangan-Nya dalam keadaan penuh rasa takut dan harap.
“Bertakwalah
kepada Allah, jangan kau buka tutupnya kecuali dengan haknya,” kata
wanita itu.
“Lalu
aku pun berdiri meninggalkannya. Ya Allah, kalau Engkau tahu aku
melakukannya karena mengharap Wajah-Mu, maka lepaskanlah kami dari
batu ini.” Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala pun memberi celah lebih
lebar daripada sebelumnya, namun mereka belum dapat keluar.
Apa
yang mendorongnya meninggalkan wanita itu dalam keadaan dia sudah ada
di atas tubuhnya? Apa yang mencegahnya dari kemaksiatan? Tidak ada
yang menghalanginya selain kokohnya sikap ta’zhim (pengagungan)
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam sanubarinya. Tidak ada yang
menghentikannya selain kebesaran Rabbnya yang bertahta di hatinya,
sehingga menimbulkan rasa takut dan merasa diawasi oleh Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Dia segera berdiri karena Allah Subhanahu wa
Ta’ala, mengharap pahala dan takut akan siksa-Nya.
Menghormati
hak orang lain
Alangkah
banyak di antara manusia yang masih suka mengangkangi hak orang lain.
Sementara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah
hadits shahih dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:
مَنِ
اقْتَطَعَ مَالَ امْرِئٍ مُسْلِمٍ
بِغَيْرِ حَقٍّ لَقِيَ اللهَ عَزَّ
وَجَلَّ وَهُوَ عَلَيْهِ غَضْبَانُ
“Siapa
yang mengambil harta seorang muslim tanpa alasan yang haq, niscaya
dia bertemu dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam keadaan Dia
sangat murka kepadanya.”
(HR. Ahmad)
Bayangkanlah
hari yang sangat dahsyat tersebut. Ketika manusia dikumpulkan dalam
keadaan tidak beralas kaki, tidak berpakaian, dan tidak berkhitan, di
saat kita sangat membutuhkan karunia dan rahmat Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Dalam hadits lain yang hampir serupa dengan ini, terkait
dengan sumpah, mereka bertanya kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wa sallam: “Walaupun
sebatang kayu arak –untuk siwak–?”
Kata
beliau: “Walaupun
hanya sebatang kayu arak.”
Artinya,
seandainya kita mengambil sebatang kayu arak dari seorang muslim
dalam keadaan dia tidak senang kamu mengambilnya, niscaya kita akan
bertemu dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam keadaan dia murka.
Lantas, di mana sikap ta’zhim (pengagungan) kepada Allah Subhanahu
wa Ta’ala dari orang-orang yang berbuat zalim seperti ini?
Seandainya
dia memiliki sikap ta’zhim kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala,
tentulah dia seperti orang yang diceritakan oleh Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ini. Kita perhatikan
kisah tentang orang ketiga ini.
Dia
menyewa seorang buruh agar bekerja dengan upah yang telah ditentukan,
tetapi pekerja itu tidak jadi mengambil upahnya. Dia malah pergi
tanpa membuat kesepakatan dengan majikannya agar upahnya
dikembangkan. Namun, kedermawanan majikan tersebut mendorongnya
mengolah upah buruh tadi sehingga bertambah banyak.
Tak
lama, dari upah buruh tadi yang tidak seberapa, harta itu berkembang
menjadi berlimpah. Kemudian datanglah si buruh menagih upah yang
dahulu dia tinggalkan. Oleh si majikan, harta yang berasal dari upah
si buruh diserahkan seluruhnya kepada buruh tersebut.
Dia
berkata: “Lalu
aku berikan kepada buruh itu semua yang telah aku kembangkan dari
upahnya. Andai aku mau tentulah tidak aku berikan kepadanya melainkan
upahnya semata.”
Artinya, dia kuasa untuk tidak memberi buruh tadi harta yang sudah
dikembangkannya dalam waktu cukup lama. Akan tetapi, dengan sikap
pemurahnya itu, dia menyerahkan semua harta yang diperoleh dari upah
buruh tersebut.
Lalu
dia pun berkata: “Ya
Allah, kalau Engkau tahu aku melakukannya demi mengharap rahmat-Mu
dan takut akan siksa-Mu, maka lepaskanlah kami.”
Maka
batu itu pun bergeser dan mereka berjalan keluar dari gua tersebut.
Melalui
kisah ini pula kita dapatkan bahwa selamat dari petaka/bencana adalah
balasan atas amal perbuatan yang shalih. Betapa besar ganjaran yang
diterima oleh mereka yang jujur dan amanah dalam bermuamalah.
Majikan
yang jujur dan amanah yang mengembangkan upah buruhnya adalah cermin
bagi kita melihat betapa langkanya kejujuran dan amanah itu di
sekitar kita saat ini. Dia menyerahkan semua harta yang dihasilkan
dari pengembangan upah buruhnya, tanpa meminta imbalan atau bagian
atas upayanya mengembangkan upah buruh tersebut. Sementara di sekitar
kita, hal ini justru menjadi peluang untuk memperoleh harta tambahan.
Wallahul Musta’an.
Alangkah
tepat ungkapan ini:
صَبْراً
جَمِيلاً مَا أَقْرَبَ الْفَرَجَا
مَنْ
رَاقَبَ اللهَ فِي الْأُمُوْرِ نَجَا
مَنْ
صَدَقَ اللهَ لَمْ يَنَلْهُ أَذَى
وَمَنْ
رَجَاهُ يَكُونُ حَيْثُ رَجَا
Bersabarlah
dengan kesabaran yang indah, alangkah dekatnya jalan keluar
Siapa
yang senantiasa yakin diawasi oleh Allah dalam semua urusan pasti
selamat
Siapa
yang jujur terhadap Allah tentu tidak akan celaka
Dan
siapa yang mengharapkan-Nya tentu Dia ada di mana pun diharap
Jelaslah,
dari hadits ini bahwa ketiga laki-laki mukmin ini, di saat mereka
ditimpa malapetaka dan keadaan mengimpit mereka, serta putus asa akan
datangnya kelonggaran dari semua jalan selain jalan Allah Tabaraka wa
Ta’ala satu-satunya, maka mereka pun berlindung dan berdoa
kepada-Nya dengan ikhlas, serta menyebutkan amalan-amalan shalih
mereka yang dahulu biasa mereka ingat kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala pada waktu-waktu senang, sambil mengharapkan agar Allah
Subhanahu wa Ta’ala mengetahui keadaan mereka di saat-saat yang
sulit. Sebagaimana hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
تَعَرَّفْ
إِلَى اللهِ فِي الرَّخَاءِ يَعْرِفْكَ
فِي الشِّدَّةِ
“Ingatlah
kepada Allah ketika dalam keadaan senang, tentu Dia mengingatmu pada
saat-saat yang sulit.”2
Wallahu
a’lam.
1
Kira-kira 16 ritl. Ritl adalah ukuran yang dipakai untuk menimbang,
dan takarannya berbeda antara satu negeri dengan negeri lainnya. Di
Mesir misalnya, 1 ritl= 12 uqiyah, 1 uqiyah= 12 dirham. 1 dirham
sendiri = 3,98 gram perak, berarti 1 faraq sekitar 9,17 kg. Adapula
yang berpendapat 1 uqiyah= 40 dirham, sehingga 1 faraq sekitar 30,5
kg.
2
Shahih Adabul Mufrad (no. 503), dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani
rahimahullahu.
2
HR. Ahmad dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma dan sanadnya
sahih dengan syawahid, lihat Zhilalul Jannah fi Takhrij As-Sunnah
(hal. 138), karya Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu.
Dikutip
dari www.asysyariah.com Penulis : Al-Ustadz Abu Muhammad Harist,
Judul: Kisah Orang-orang yang Terkurung di Dalam Gua
 
 

 
 
 
 
 
 
 
 
