Fatwa Syafi’iyah
Istilah “tahlilan” atau “slametan” sudah sangat populer di
telinga kita semua, lantaran sudah menjadi adat istiadat klasik dan tradisi
mayoritas kaum muslimin di seantero dunia masa kini, tak ketinggalan
negeri Indonesia Raya ini, baik pedesaan
maupun perkotaannya. Ritual yang satu ini seakan sudah mendarah daging dan
menjadi prevalensi (kelaziman) yang mengikat masyarakat tatkala tertimpa
musibah kematian sehingga sangat jarang keluarga yang tidak menyelenggarakan
ritual ini karena takut diasingkan masyarakatnya.
Ironinya, mereka menganggap ritual ini merupakan salah satu
bentuk ibadah. Mereka juga mencuatkan opini publik bahwa ritual ini adalah ciri
khas penganut madzhab Syafi’i. Padahal, jika kita menelusuri kitab-kitab klasik
madzhab Syafi’iyyah, niscaya akan kita dapati bahwa ternyata justru ulama-ulama
madzhab Syafi’iyyah adalah ulama terdepan dalam mengingkarinya, bahkan mereka
adalah paling keras jika dibandingkan dengan madzhab lainnya. Lantas, kenapa
malah kenyataannya sekarang justru para pengaku madzhab Syafi’i di negeri ini
paling getol menyemarakkannya?!
Nah, uraian berikut adalah nukilan-nukilan dari para ulama
Syafi’iyyah tentang hal ini. Semoga menjadi pelajaran berharga bagi kita untuk
selalu semangat mencari kebenaran dan tidak menjadi orang yang dibutakan oleh
taklid dan fanatik.
Apa Itu Tahlilan?!
Yang dimaksud “tahlilan” adalah sebuah acara yang
diselenggarakan ketika salah seorang dari anggota keluarga meninggal dunia.
Gambaran acaranya sebagai berikut: Secara bersama-sama,
setelah proses penguburan selesai, seluruh keluarga, handai tolan, serta
masyarakat sekitar berkumpul di rumah keluarga mayit (jenazah) hendak
menyelenggarakan acara pembacaan beberapa ayat al-Qur’an, dzikir, berikut
do’a-do’a yang ditujukan untuk mayit di alam sana. Karena dari sekian materi
bacaannya terdapat kalimat tahlil yang diulang-ulang (ratusan kali), acara
tersebut biasa dikenal dengan istilah “tahlilan”.
Biasanya, acara ini berlangsung setiap hari hingga hari
ketujuh dari saat kematian kemudian keempat puluhnya, seratus harinya,
setahunnya, dan seterusnya. Pada acara tersebut, keluarga mayit menyajikan
hidangan makanan/minuman yang selalu variatif kepada orang-orang yang sedang
berkumpul di rumahnya.[1]
Apa yang disebutkan di atas adalah gambaran secara umum,
sekalipun biasanya ada beberapa perbedaan antara daerah satu dengan daerah
lainnya.
Hukum Syar’i Tentang Tahlilan
Bila kita
cermati hadits-hadits Nabi n\ mengenai hal ini serta dampak negatif acara ini,
akan kita dapati bahwa acara ini tidak pernah dicontohkan oleh Nabi n\ dan para
sahabat, bahkan bertentangan dengan dalil serta logika akal sehat. Adapun dalil
yang kami maksud adalah sebagai berikut:
Hadits pertama:
عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْبَجَلِيِّ قَالَ:كُنَّا نَعُدُّ (وَفِيْ رِوَايَةٍ كُنَّا
نَرَى) الإِجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنِيْعَةَ الطَّعَامِ مِنَ النِّيَاحَةِ
Dari Jarir bin Abdullah al-Bajali berkata, “Kami (para
sahabat) menganggap (dalam riwayat lain: berpendapat) bahwa berkumpul-kumpul
kepada ahli mayit dan membuat makanan setelah (si mayit) dikubur termasuk
kategori niyahah (meratapi).”[2]
Lafal hadits كُنَّا نَرَى
(kami berpendapat) ini kedudukannya sama seperti meriwayatkan ijmak (konsensus)
para sahabat atau taqrir (persetujuan) Nabi. Jika benar yang kedua (taqrir
Nabi) maka artinya hadits ini hukumnya marfu’ hukman (sampai kepada Nabi). Bagaimanapun juga, yang jelas hadits ini
dapat dijadikan hujjah.[3]
Hadits kedua:
اصْنَعُوْا لِأََلِ جَعْفَرَ طَعَاماً فَإِنَّهُ
جَاءَهُمْ مَا يَشْغَلُهُمْ
“Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far karena telah
datang kepada mereka urusan yang menyibukkan mereka.”[4]
Hadits ini sangat gamblang menjelaskan bahwa justru yang
dianjurkan dalam Islam adalah kita memberikan bantuan makanan dan semisalnya
kepada keluarga yang terkena musibah kematian bukan malah membebani mereka agar
membuatkan hidangan makanan dalam acara tahlilan atau slametan.
Adapun dalil logika, pantaskah bagi keluarga mayat yang
tengah dilanda musibah dan kesedihan lalu malah terbebani dengan menyiapkan
jamuan makanan dan berkat(!) yang sepantasnya ada di walimah pernikahan dan
sejenisnya dari momen kegembiraan, yang tentu semua itu membutuhkan harta yang
tidak sedikit terutama bagi orang miskin. Oleh karenanya, banyak orang yang
berekonomi lemah bersusah payah untuk hutang ke sana kemari demi
terselenggaranya acara ini karena khawatir jadi cibiran masyarakatnya.
Jadi, kebiasaan manusia pada zaman sekarang untuk mengadakan
acara tahlilan dan slametan termasuk bid’ah yang jelek karena beberapa alasan:
Ini menyelisihi
sunnah Nabi dan termasuk bid’ah.
Menyerupai
perbuatan jahiliah yang menyembelih ketika tokoh mereka meninggal.
Pemborosan dan
membelanjakan harta yang tidak boleh.
Bisa jadi
menzalimi ahli waris dengan penggunaan harta waris untuk acara tersebut.
Keluarga mayit
sedang galau dan dilanda kesedihan tetapi malah harus kerepotan membuat
makanan.
Memperbaharui
kesedihan.[5]
Ulama Syafi’iyyah Menggugat Tahlilan
Berdasarkan dalil-dalil di atas, para ulama menegaskan
tentang kandungannya, terutama para ulama Syafi’iyyah. Berikut ini kami
nukilkan cuplikan ucapan mereka dengan teks aslinya berikut artinya (kecuali
jika ucapannya terlalu panjang) serta sumbernya sehingga bisa
dipertanggungjawabkan dan dicek kebenarannya:
1. Imam Syafi’i berkata:
وَ أَكْرَهُ الْمَأَتِمَ وَهِيَ الْجَمَاعَةَ
وَ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ بُكَاءٌ فَإِنَّ ذَلِكَ يُجَدِّدُ الْحُزْنَ وَ يُكَلِّفُ
الْمُؤْنَةَ مَعَ مَا مَضَى مِنَ الأَثَرِ
“Dan saya membenci berkumpul-kumpul (dalam kematian)
sekalipun tanpa diiringi tangisan karena hal itu akan memperbaharui kesedihan
dan memberatkan tanggungan (keluarga mayit) serta berdasarkan atsar (hadits)
yang telah lalu.”[6]
Beliau juga berkata:
وَ أُحِبُّ لِجِيْرَانِ الْمَيِّتِ أَوْ
ذِيْ قَرَابَتِهِ أَنْ يَعْمَلُوْا لِأَهْلِ الْمَيِّتِ فِيْ يَوْمٍ يَمُوْتُ وَ لَيْلَتِهِ
طَعَامًا يُشْبِعُهُمْ فَإِنَّ ذَلِكَ سُنَّةٌ وَ ذِكْرٌ كَرِيْمٌ وَ هُوَ مِنْ عَمَلِ
أَهْلِ الْخَيْرِ قَبْلَنَا وَ بَعْدَنَا.
“Dan saya menyukai agar para tetangga mayit beserta
kerabatnya untuk membuatkan makanan yang mengenyangkan bagi keluarga mayit di
hari dan malam kematian. Karena, hal tersebut termasuk sunnah dan amalan baik
para generasi mulia sebelum dan sesudah kita.”[7]
2. Imam as-Sirazi berkata:
وَيُكْرَهُ الْجُلُوْسُ لِلتَّعْزِيَةِ،
لِأَنَّ ذَلِكَ مُحْدَثٌ، وَالْمُحْدَثُ بِدْعَةٌ
“Dan dibenci duduk-duduk untuk takziah, karena itu adalah
perkara baru dalam agama, dan itu adalah bid’ah.”[8]
3. Imam Nawawi berkata:
“Dan adapun duduk-duduk ketika melawat maka hal ini dibenci
oleh Syafi’i, pengarang kitab ini (as-Sirazi), dan seluruh kawan-kawan kami
(ulama-ulama madzhab Syafi’i). Syaikh Abu Hamid dan lain-lainnya menukil
perkataan Imam Syafi’i dalam kitabnya, at-Ta’liq. Mereka mengatakan, ‘Maksud
duduk-duduk di sini adalah keluarga mayit berkumpul dalam satu rumah sehingga
orang-orang juga berkumpul melawati mereka. Sebaiknya mereka pergi
menyelesaikan urusannya masing-masing. Bila ada yang melawat mereka ketika itu,
maka itulah waktunya. Tidak ada perbedaan bagi laki-laki maupun perempuan akan
dibencinya duduk-duduk seperti itu.’”[9]
Beliau juga menukil perkataan pengarang kitab asy-Syamil[10]
sebagai berikut:
وَ أَمَّا إِصْلَاحُ أَهْلِ الْمَيِّتِ
طَعَامًا وَجَمْعُ النَّاسِ عَلَيْهِ فَلَمْ يُنْقَلْ فِيْهِ شَيْئٌ وَهُوَ بِدْعَةٌ
غَيْرُ مُسْتَحَبَّةٍ
“Adapun apabila keluarga mayit membuatkan makanan dan
mengundang manusia untuk makan-makan, maka hal itu tidaklah dinukil sedikit pun
bahkan termasuk bid’ah, bukan sunnah.”[11]
4. Imam al-Fairuz Abadi berkata:
وَكَانَتِ الْعَادَةُ أَنْ يُعَزِّيَ أَهْلَ
الْمَيِّتِ وَيَأْمُرَهُمْ بِالصَّبْرِ، وَلَمْ تَكُنِ الْعَادَةُ أَنْ يَجْتَمِعُوْا
لِلْمَيِّتِ، وَيَقْرَؤُوْنَ لَهُ الْقُرْآنَ، وَيَخْتِمُوْهُ عِنْدَ قَبْرِهِ، وَلَا
فِيْ مَكَانٍ آخَرَ، وَهَذَا الْمَجْمُوْعُ بِدْعَةٌ وَمَكْرُوْهٌ.
“Biasanya Rasulullah takziah kepada keluarga mayit dan
menyuruh mereka agar bersabar. Dan bukan kebiasaan jika mereka berkumpul untuk
mayit, membacakan al-Qur’an untuknya, dan mengkhatamkan al-Qur’an untuknya,
baik di kuburannya atau lainnya. Kumpul-kumpul seperti adalah bid’ah yang
tercela.”[12]
5. Al-Hafizh as-Suyuthi berkata:
وَمِنَ الْبِدَعِ الإِجْتِمَاعُ لِعَزَاءِ
الْمَيِّتِ…وَكَذَا اجْتِمَاعُ الرِّجَالِ عَلَى الْقَبْرِ الْيَوْمَ الثَّانِيْ وَالثَّالِثَ
“Termasuk perkara bid’ah adalah berkumpul-kumpul kepada
keluarga mayit … (kemudian beliau menukil perkataan Imam Syafi’i di atas tadi)
dan juga kumpul-kumpulnya kaum lelaki di kuburan mayit pada hari kedua dan
ketiga.”[13]
6. Imam Ibnu Nahhas mengatakan ketika menjelaskan tentang bid’ah-bid’ah seputar jenazah:
وَمِنْهَا: مَا يَفْعَلُهُ أَهْلُ الْمَيِّتِ
مِنَ الأَطْعِمَةِ وَغَيْرِهَا، وَدَِعْوَةِ النَّاسِ إِلَيْهَا وَقِرَاءَةِ الْخَتَمَاتِ،
وَمَنْ لَمْ يَفْعَلْ ذَلِكَ كَانَ كَأَنَّهُ قَدْ تَرَكَ أَمْرًا وَاجِبًا، وَهَذَا
إِنْ كَانَ مِنَ الْمَالِ مَنْ يَجُوْزُ تَبَرُّعُهُ مِنَ الْوَرَثَةِ، فَهُوَ بِدْعَةٌ
مَكْرُوْهَةٌ لَمْ تَرِدْ عَنِ السَّلَفِ الصَّالِحِ، وَإِنْ كَانَ مِنَ التَّرِكَةِ
الَّتِيْ فِيْهَا يَتِيْمٌ أَوْ غَائِبٌ، وَلَمْ يُوِْصِِ الْمَيِّتُ بِذَلِكَ حَرُمَ
الأَكْلُ مِنْهَا، وَحُضُوْرُهَا، وَوَجَبَ إِنْكَارُهَا، وَمَنْعُهَا
“Di antaranya adalah apa yang dilakukan oleh kerabat mayit
berupa membuat makanan dan selainnya, dan mengundang manusia kepadanya serta
membaca khataman. Barangsiapa yang tidak melakukan hal itu maka seakan-akan
telah meninggalkan suatu kewajiban. Hal ini jika diambil dari harta ahli waris
yang boleh dipergunakan maka hukumnya bid’ah tercela, tidak ada contohnya dari
salaf shalih. Dan jika dari peninggalan untuk anak yatim atau orang yang tidak
ada padahal mayit tidak mewasiatkan harta tersebut maka haram memakannya dan
menghadirinya serta wajib mengingkari dan melarangnya.”[14]
7. Imam al-Munawi berkata ketika menjelaskan hadits “Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far”:
فَيُنْدَبُ لِجِِيْرَانِ الْمَيِّتِ وَأَقَارِبِهِ
الأَبَاعِدِ صُنْعُ ذَلِكَ، ويَحْلِفُوْنَ عَلَيْهِمْ فِي الأَكْلِ، وَلاَ يُنْدَبُ
فِعْلُ ذَلِكَ لأَهْلِهِ الأَقْرَبِيْنَ، لأَنَّهُ شُرِعَ فِي السُّرُوْرِ، لَا فِي
الشُّرُوْرِ، فَهُوَ بِدْعَةٌ قَبِيْحَةٌ، كَمَا قَالَهُ النَّوَوِيُّ وَغَيْرُهُ
“Maka dianjurkan bagi para tetangga mayat dan para
kerabatnya yang jauh untuk membuatkan makanan keluarga mayit dan mendesaknya
untuk makan. Namun, hal itu tidak dianjurkan bagi keluarganya terdekat karena
membuat makanan itu disyari’atkan ketika kegembiraan bukan kesedihan, hal itu
adalah bid’ah yang jelek sebagaimana dikatakan oleh an-Nawawi dan lainnya.”[15]
8. Ibnu Hajar al-Haitami
Beliau ditanya tentang kebiasaan manusia pada hari ketiga
setelah kematian, mereka membuat makanan lalu membagikannya kepada orang fakir
dan sebagainya, demikian juga pada hari ketujuh dan genap sebulannya berupa
roti yang dibagikan ke rumah para wanita yang menghadiri jenazah sebagaimana
adat penduduk setempat. Barangsiapa yang tidak melakukan hal itu maka dia akan
dicela dan dicibir. Apakah jika mereka melakukan hal itu baik dengan niat adat
atau sedekah diperbolehkan hukumnya, atau bagaimana?
Beliau menjawab:
جَمِيْعُ مَا يُفْعَلُ مِمَّا ذُكِرَ فِي
السُّؤَالِ مِنَ الْبِدَعِ الْمَذْمُوْمَةِ
“Semua perbuatan yang disebut dalam pertanyaan di atas
termasuk perkara bid’ah yang tercela.”[16]
9. Syaikh Ahmad Zaini Dahlan, mufti Syafi’iyyah Makkah, pernah ditanya masalah ini lalu dia menjawab:
نَعَمْ, مَا يَفْعَلُهُ النَّاسُ مِنَ الاِجْتِمَاعِ
عِنْدَ أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصُنْعِ الطَّعَامِ مِنَ الْبِدَعِ الْمُنْكَرَةِ الَّتِيْ
يُثَابُ عَلَى مَنْعِهَا وَالِي الأَمْرِ ثَبَّتَ اللَّهُ بِهِ قَوَاعِدَ الدِّيْنِ
وَأَيَّدَ بِهِ الإِسْلَامَ وَالْمُسْلِمِيْنَ
“Benar, apa yang dilakukan kebanyakan manusia berupa
kumpul-kumpul pada keluarga mayit dan membuatkan makanan termasuk perkara
bid’ah yang mungkar. Apabila pemerintah—yang Allah menguatkan sendi-sendi Islam
dengannya—melarang hal ini, dia akan diberi pahala.”
Kemudian Syaikh Zaini Dahlan menukil perkataan Ahmad bin
Hajar dalam Tuhfatul Muhtaj lalu berkata:
وَلَا شَكَّ أَنَّ مَنْعَ النَّاسِ مِنْ
هَذِهِ الْبِدْعَةِ الْمُنْكَرَةِ فِيْهِ إِحْيَاءُ لِلسُّنَّةِ وَإِمَاتَةٌ لِلْبِدْعَةِ
وَفَتْحٌ لِكَثِيْرٍ مِنْ أَبْوَابِ الْخَيْرِ وَغَلْقٌ لِكَثِيْرٍ مِنْ أَبْوَابِ
الشَّرِّ فَإِنَّ النَّاسَ يَتَكَلَّفُوْنَ تَكَلُّفًا كَثِيْرًا يُؤَدِّيْ إِلَى أَنْ
يَكُوْنَ ذَلِكَ الصُّنْعُ مُحَرَّمًا
“Tidak ragu lagi bahwa melarang manusia dari bid’ah yang
mungkar ini termasuk menghidupkan sunnah dan mematikan bid’ah, membuka
pintu-pintu kebaikan dan menutup pintu-pintu kejelekan. Sebab banyak di antara
manusia, mereka memberatkan dir-diri mereka sehingga menjurus kepada
keharaman.”[17]
Setelah menukil fatwa Syaikh Zaini Dahlan, mufti Syafi’iyyah
Makkah, penulis (Syaikh Abu Bakar Muhammad Syatha, Red.) kemudian menukil fatwa
Syaikh Abdurrahman bin Abdulah Siraj al-Hanafi, mufti Hanafiyyah Makkah, lalu
berkata: “Fatwa serupa juga dikeluarkan oleh mufti Malikiyyah dan mufti Hanabilah.”[18]
10. Syaikh Ali Mahfuzh
Setelah menukil ucapan para ulama madzhab empat tentang
kumpul untuk takziah dan membuatkan makanan untuk mereka, Syaikh Ali Mahfuzh
mengatakan, “Kesimpulannya, apa yang dilakukan oleh manusia sekarang berupa
membuatkan makanan untuk para penakziah dan mengeluarkan dana untuk acara
kematian, ketujuh dan empat puluh harinya, dan seterusnya; semua itu termasuk
bid’ah yang tercela dan menyelisihi petunjuk Rasulullah dan para salaf shalih
setelahnya. Bahkan (perbuatan itu) seringkali menyebabkan kesulitan karena para
keluarga mayit akan bersusah payah membuat makanan mewah yang tidak biasanya
sekalipun dengan berhutang atau menjual barang. Anehnya, mereka menyangka bahwa
hal itu adalah untuk sedekah yang pahalanya akan sampai kepada mayit, padahal
makanan tersebut kebanyakannya malah masuk ke perut orang-orang yang mampu,
sedangkan orang yang miskin, sekalipun minta, mereka tidak dapat, kalaupun
dapat maka hanyalah sisa-sianya saja.”
Beliau melanjutkan, “Daripada menyia-nyiakan harta untuk
acara bid’ah yang tidak diizinkan oleh syari’at dan tidak diterima oleh akal,
sewajibnya bagi bagi ahli waris untuk membayarkan hutang mayit pada manusia,
sebab mereka adalah penanggung jawab setelahnya di dunia dan akhirat.”[19]
11. Syaikh Ahmad bin Hajar alu Buthami
Ketika menyebutkan tentang bid’ah-bid’ah seputar jenazah,
beliau berkata, “Acara slametan ini tidak diperselisihkan tentang keharamannya
karena termasuk makan harta dengan cara yang batil. Oleh karenanya, sebagian
orang belakangan yang biasanya melegalkan bid’ah dengan bid’ah hasanah(!)
menegaskan bahwa acara ini termasuk bid’ah yang sesat karena:
Pertama: Menyelisihi
sunnah, sebab justru para tetangganyalah yang seharusnya membuatkan makanan
bagi kerabat mayit, sebagaimana dalam hadits: ‘Buatkanlah makanan untuk
keluarga Ja’far.’
Kedua: Pemborosan harta
Ketiga: Makan harta manusia dengan cara batil karena bisa
jadi ahli waris adalah orang yang fakir miskin atau masih anak-anak, apalagi
kadang-kadang manusia berhutang karena takut dicemooh oleh masyarakatnya sebab
tidak mengadakan acara bid’ah ini.”[20]
Demikianlah perkataan ulama madzhab Syafi’i. Akan tetapi,
aneh tapi nyata, mengapa para tokoh agama di negeri ini yang menisbahkan
dirinya kepada madzhab Syafi’i malah justru sebagai pelopor utama dalam
menentang madzhab Syafi’i. Wallahul Musta’an.
Dan lebih lucu lagi cerita sebagian ustadz ketika
menyampaikan ucapan para ulama madzhab Syafi’i di atas yang sangat keras
menentang acara tersebut kepada salah seorang penggiat acara, dengan entengnya
dia menjawab, “Kita ini sudah banyak mengikuti madzhab Syafi’i, jadi
sekali-kali bolehlah kita menyelisihinya!!”
Kesimpulan
Dari penjelasan singkat di atas, dapat disimpulkan bahwa
acara kematian yang biasa dikenal dengan istilah “tahlilan” atau “slametan”
adalah acara yang tidak ada dasarnya dalam agama, bahkan bertentangan dengan
sunnah Nabi serta logika yang sehat. Dan acara ini juga diingkari secara keras
oleh para ulama madzhab Syafi’i. Maka selayaknya bagi masyarakat untuk membuka
mata tentang hakikat ini. Semoga Allah menjadikan kita para pengagung
kebenaran.[21]
________________________________________________________________
[1] Santri NU
Menggugat Tahlilan hlm. 11–12 oleh Harry Yuniardi
[2] Shahih.
Dikeluarkan Imam Ahmad bin Hambal dalam Musnad-nya 2/204 dan ini lafalnya dan
Ibnu Majah dalam Sunan-nya 1/514 no. 1612 dan dishahihkan oleh an-Nawawi,
al-Bushairi, asy-Syaukani, Ahmad Syakir, dan al-Albani dalam Ahkamul Jana’iz hlm. 210 cet. Maktabah
Ma’arif.
[3] Hasyiyah
as-Sindi ’ala Sunan Ibnu Majah 2/275.
[4] Shahih.
Diriwayatkan Imam Ahmad dalam Musnad-nya 1/205, Syafi’i dalam al-Umm 1/317, Abu
Dawud: 3132, Tirmidzi: 998, Ibnu Majah: 1610, dan selainnya dengan sanad hasan.
Tetapi hadits ini mempunyai syahid (penguat) dari hadits Asma’ binti Umais s\
sebagaimana diisyaratkan Syaikh Albani dalam Ahkamul Jana’iz hlm. 211 dan
beliau menguatkan dengannya.
[5] Taudhihul
Ahkam 3/270 dan poin terakhir tambahan dari kami.
[6] Al-Umm
1/318
[7] Ibid. 1/317
[8]
Al-Muhadzdzab 1/139
[9] Al-Majmu’
Syarh Muhadzdzab 5/278
[10] Yaitu Imam
Ibnu Shabbagh (477 H). Dan kitab asy-Syamil adalah penjelasan terhadap
Mukhtashar al-Muzani. Ibnu Khallikan v\ mengatakan, “Termasuk kitab Syafi’iyyah
yang paling bagus, valid nukilannya dan kuat dalilnya.” (Wafayatul A’yan 3/385)
[11] Al-Majmu’
5/290. Lihat pula kitab al-Adzkar hlm. 127 karya Imam Nawawi.
[12] Safar
Sa’adah hlm. 111
[13] Al-Amru bil
Ittiba’ hlm. 288
[14] Tanbihul
Ghafilin hlm. 301
[15] Faidhul
Qadir 1/534
[16] Al-Fatawa
al-Fiqhiyyah al-Kubra 2/7
[17] I’anah
Thalibin juz 2 hlm. 145–146 oleh Syaikh Abu Bakar Muhammad Syatha
[18] Ibid. 2/146
[19] Al-Ibda’ fi
Madharil Ibtida’ hlm. 211–212
[20] Tahdzirul
Muslimin hlm. 278
[21] Tulisan ini
disarikan dari kitab Juhud Syafi’iyyah
fi Muharabatil Bida’ oleh Ustadzuna Dr. Muhammad Nur Ihsan dan buku
penulis Perayaan Haul dan Tahlilan cet. Pustaka Media Tarbiyah, Bogor.
