بسم
الله الرحمن
الرحيم
الحمد
لله، والصلاة
والسلام على
رسول الله
وآله وصحبه
أجمعين، أما
بعد
Prolog
Manhaj
salaf adalah satu-satunya manhaj yang diakui kebenarannya oleh Allah
ta’ala
dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa
sallam, karena manhaj ini mengajarkan
pemahaman dan pengamalan islam secara lengkap dan menyeluruh, dengan
tetap menitikberatkan kepada masalah tauhid dan pokok-pokok keimanan
sesuai dengan perintah Allah ta’ala
dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa
sallam, Allah berfirman:
{وَالسَّابِقُونَ
الْأَوَّلُونَ
مِنَ الْمُهَاجِرِينَ
وَالْأَنْصَارِ
وَالَّذِينَ
اتَّبَعُوهُمْ
بِإِحْسَانٍ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُمْ
وَرَضُوا عَنْهُ
وَأَعَدَّ لَهُمْ
جَنَّاتٍ تَجْرِي
تَحْتَهَا
الْأَنْهَارُ
خَالِدِينَ فِيهَا
أَبَداً ذَلِكَ
الْفَوْزُ الْعَظِيمُ}
“Orang-orang
yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari (kalangan)
orang-orang muhajirin dan anshar serta orang-orang yang mengikuti
mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha
kepada-Nya, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang
mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya
selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.”
(Qs. At Taubah: 100)
Dalam
ayat lain, Allah ta’ala
memuji keimanan para sahabat radhiyallahu
‘anhum dan orang-orang yang
mengikuti mereka dalam firman-Nya:
فَإِنْ
آمَنُوا بِمِثْلِ
مَا آمَنْتُمْ
بِهِ فَقَدِ
اهْتَدَوْا
“Dan
jika mereka beriman seperti keimanan kalian, maka sungguh mereka
telah mendapatkan petunjuk (ke jalan yang benar).”
(Qs. Al Baqarah: 137)
Dalam
hadits yang shahih tentang perpecahan umat ini menjadi 73 golongan,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: “Semua
golongan tersebut akan masuk neraka, kecuali satu golongan, yaitu Al
Jama’ah“.
Dalam riwayat lain: “Mereka (yang
selamat) adalah orang-orang yang mengikuti petunjukku dan petunjuk
para sahabatku.” (HR. Ahmad, Abu
Dawud, Ad Darimy dan imam-imam lainnya, dishahihkan oleh Ibnu
Taimiyyah, Asy Syathiby dan Syaikh Al Albany. Lihat “Silsilatul
Ahaaditsish Shahihah” no. 204)
Maka
mengikuti manhaj salaf adalah satu-satunya cara untuk bisa meraih
keselamatan di dunia dan akhirat, sebagaimana hanya dengan mengikuti
manhaj inilah kita akan bisa meraih semua keutamaan dan kebaikan yang
Allah ta’ala
janjikan dalam agama-Nya, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam: “Sebaik-baik
umatku adalah generasi yang aku diutus di masa mereka (para sahabat
radhiyallahu ‘anhum),
kemudian generasi yang datang setelah mereka, kemudian generasi yang
datang setelah mereka.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
Berkata
Imam Ibnul Qayyim dalam menjelaskan hadits di atas: “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam
memberitakan (dalam hadits ini) bahwa generasi yang terbaik secara
mutlak adalah generasi di masa Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam (para sahabat
radhiyallahu ‘anhum),
dan ini mengandung pengertian keterdepanan mereka dalam seluruh aspek
kebaikan (dalam agama ini), karena kalau kebaikan mereka (hanya)
dalam beberapa aspek (tidak sempurna dan menyeluruh) maka mereka
tidak akan dinamakan (oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam sebagai) generasi
yang terbaik secara mutlak”. Maksud terbaik secara mutlak yaitu
kebaikan yang ada pada mereka adalah kebaikan yang sempurna dan
menyeluruh pada semua aspek kebaikan dalam agama. (Lihat Kitab
I’laamul muwaqqi’iin,
4/136- cet. Daarul Jiil,
Beirut, 1973)
Untuk
lebih jelasnya pembahasan masalah ini, berikut ini kami akan
menyebutkan dan menjelaskan beberapa contoh/poin penting yang
menunjukkan besarnya manfaat dan keutamaan yang bisa kita capai
dengan berusaha memahami dan mengamalkan manhaj salaf dengan baik dan
benar, serta mustahilnya mencapai semua itu dengan mengikuti selain
manhaj yang benar ini:
1-
Keteguhan iman dan keistiqamahan dalam agama di dunia dan akhirat
Allah
ta’ala
berfirman:
{يُثَبِّتُ
اللَّهُ الَّذِينَ
آمَنُوا بِالْقَوْلِ
الثَّابِتِ فِي
الْحَيَاةِ
الدُّنْيَا وَفِي
الْآخِرَةِ وَيُضِلُّ
اللَّهُ الظَّالِمِينَ
وَيَفْعَلُ اللَّهُ
مَا يَشَاءُ}
“Allah
meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ‘ucapan yang
teguh’ dalam kehidupan di dunia dan di akhirat, dan Allah
menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia
kehendaki.” (Qs. Ibrahim: 27)
Makna
‘ucapan yang teguh’ dalam ayat di atas ditafsirkan sendiri oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam hadits shahih yang
diriwayatkan oleh seorang sahabat yang mulia Al Bara’ bin ‘Aazib
radhiyallahu ‘anhu,
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda: “Seorang
muslim ketika ditanya di dalam kubur (oleh Malaikat Munkar dan Nakir)
maka dia akan bersaksi bahwa tidak ada sembahan yang benar kecuali
Allah (Laa Ilaaha Illallah) dan bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi
wa sallam adalah utusan Allah (Muhammadur Rasulullah), itulah (makna)
firman-Nya: {Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan
‘ucapan yang teguh’ dalam kehidupan di dunia dan di akhirat}.”.
(HR. Al Bukhari dalam Shahih Al
Bukhari, no. 4422- cet. Daar Ibni
Katsir, Beirut, 1407 H. Hadits yang semakna juga diriwayatkan oleh
Imam Muslim dalam Shahih Muslim,
no. 2871- cet. Daar Ihya-it turats al
‘araby, Beirut)
Ayat
dan hadits di atas menunjukkan bahwa keteguhan iman dan keistiqamahan
dalam agama hanyalah Allah ta’ala
anugerahkan kepada orang beriman yang memiliki ‘ucapan yang teguh’,
yaitu dua kalimat syahadat yang dipahami dan diamalkan dengan baik
dan benar.
Maka
berdasarkan keterangan di atas, jelaslah bagi kita salah satu
keutamaan dan manfaat besar mengikuti manhaj salaf, karena tidak
diragukan lagi hanya manhaj salaf-lah satu-satunya manhaj yang
benar-benar memberikan perhatian besar kepada pemahaman dan
pengamalan dua kalimat syahadat dengan baik dan benar, dengan selalu
mengutamakan pembahasan tentang kalimat Tauhid (Laa
Ilaaha Illallah), keutamaannya,
kandungannya, syarat-syaratnya, rukun-rukunnya, hal-hal yang
membatalkan dan mengurangi kesempurnaannya, disertai peringatan keras
untuk menjauhi perbuatan syirik dan semua perbuatan yang bertentangan
dengan tauhid.
Demikian
pula perhatian besar manhaj salaf terhadap kalimat syahadat
(Muhammadur Rasulullah),
dengan selalu mengutamakan pembahasan tentang keindahan dan
kesempurnaan Sunnah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, disertai
peringatan keras untuk menjauhi perbuatan bid’ah
dan semua perbuatan yang bertentangan dengan Sunnah.
Berkata
Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu: “Al Firqatun Naajiyah (golongan
yang selamat dari ancaman azab Allah ta’ala
/ orang-orang yang mengikuti manhaj salaf) adalah orang-orang yang
(sangat) mengutamakan Tauhid, yaitu mengesakan Allah dalam beribadah,
seperti berdoa, meminta pertolongan, memohon keselamatan dalam
keadaan susah maupun senang, berkurban, bernazar, dan ibadah-ibadah
lainnya, serta keharusan menjauhi syirik
dan fenomena-fenomenanya yang terlihat nyata di kebanyakan negara
Islam… Dan mereka adalah orang-orang yang selalu menghidupkan
sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam ibadah,
tingkah laku dan (semua sisi) kehidupan mereka, sehingga jadilah
mereka sebagai orang-orang yang asing di tengah masyarakat,
sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam yang menggambarkan
keadaan mereka: “Sesungguhnya islam
awalnya datang dalam keadaan asing, dan nantinya pun (di akhir jaman)
akan kembali asing, maka beruntunglah (akan mendapatkan surga)
orang-orang yang asing (karena berpegang teguh dengan sunnah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam)”
(HR. Muslim). Dalam riwayat lain: “…
Mereka adalah orang-orang yang berbuat kebaikan ketika manusia dalam
keadaan rusak”. Berkata Syaikh Al
Albani: Hadits ini diriwayatkan oleh Abu ‘Amr Ad Daani dengan sanad
yang shahih.” (Minhaajul Firqatin
Naajiyah, hal. 7-8 – cet. Daarush
Shami’i, Riyadh)
2-
Meraih Kenikmatan tertinggi di Surga, yaitu Melihat Wajah Allah
ta’ala
yang Maha Mulia dan Maha Tinggi
Dalam
hadits shahih dari seorang sahabat yang mulia Shuhaib bin Sinan
radhiyallahu ‘anhu
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda: “Jika
penghuni surga telah masuk surga, Allah ta’ala Berfirman: “Apakah
kalian (wahai penghuni surga) menginginkan sesuatu sebagai tambahan
(dari kenikmatan surga)? Maka mereka menjawab: Bukankah Engkau telah
memutihkan wajah-wajah kami? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke
dalam surga dan menyelamatkan kami dari (azab) neraka? Maka (pada
waktu itu) Allah Membuka hijab (yang menutupi wajah-Nya Yang Maha
Mulia), dan penghuni surga tidak pernah mendapatkan suatu
(kenikmatan) yang lebih mereka sukai dari pada melihat (wajah) Allah
ta’ala”, kemudian Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam
membaca ayat berikut:
للذين
أحسنوا الحسنى
وزيادة
“Bagi
orang-orang yang berbuat kebaikan, ada pahala yang terbaik (surga)
dan tambahannya (melihat wajah Allah ta’ala)”
(QS Yunus: 26). (HR. Muslim dalam Shahih
Muslim, no. 181)
Imam
Ibnu Qayyim Al Jauziyyah dalam kitab beliau “Ighaatsatul
lahafaan” (Hal. 70-71, Mawaaridul
amaan, cet. Daar Ibnil Jauzi, Ad
Dammaam, 1415 H) menjelaskan bahwa kenikmatan tertinggi di akhirat
ini (melihat wajah Allah ta’ala)
adalah balasan yang Allah ta’ala
berikan kepada orang yang merasakan kenikmatan tertinggi di dunia,
yaitu kesempurnaan dan kemanisan iman, kecintaan yang sempurna dan
kerinduan untuk bertemu dengan-Nya, serta perasaan tenang dan bahagia
ketika mendekatkan diri dan berzikir kepada-Nya. Untuk lebih jelas
pembahasan masalah ini, silakan baca tulisan kami yang berjudul
“Indahnya Islam Manisnya Iman”. Dalam sebuah ucapannya yang
tersohor Ibnu Taimiyyah berkata: “Sesungguhnya di dunia ini ada
jannnah (surga), barangsiapa yang belum masuk ke dalam surga di dunia
ini maka dia tidak akan masuk ke dalam surga di akhirat nanti.” (Al
Waabilush Shayyib, 1/69)
Beliau
menjelaskan hal ini berdasarkan lafazh doa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam sebuah
hadits yang shahih: “Aku meminta kepada-Mu (ya Allah) kenikmatan
memandang wajah-Mu (di akhirat nanti) dan aku meminta kepada-Mu
kerinduan untuk bertemu dengan-Mu (sewaktu di dunia)…” (HR. An
Nasa-i dalam “As Sunan”
(3/54 dan 3/55), Imam Ahmad dalam “Al
Musnad” (4/264), Ibnu Hibban dalam
“Shahihnya” (no. 1971) dan Al Hakim dalam “Al
Mustadrak” (no. 1900), dishahihkan
oleh Ibnu Hibban, Al Hakim, disepakati oleh Adz Dzahabi dan Sykh Al
Albani dalam “Zhilaalul Jannah Fii
Takhriijis Sunnah” (no. 424))
Dari
keterangan di atas juga terlihat jelas besarnya keutamaan dan manfaat
mengikuti manhaj salaf. Karena kemanisan iman, kecintaan yang
sempurna dan kerinduan untuk bertemu dengan Allah ta’ala
merupakan buah yang paling utama dari ma’rifatullah
(pengenalan/pengetahuan yang benar
dan sempurna tentang Allah ta’ala
dan sifat-sifat-Nya), yang mana ma’rifatullah
yang benar dan sempurna tidak akan mungkin dicapai kecuali dengan
mempelajari dan memahami nama-nama dan sifat-sifat Allah ta’ala
dalam Al Qur-an dan Hadits Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dengan metode
pemahaman yang benar, yang ini semua hanya didapatkan dalam manhaj
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah/manhaj
Salaf.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Ini adalah ideologi golongan yang
selamat dan selalu mendapatkan pertolongan dari Allah ta’ala
sampai hari kiamat, (yang mereka adalah) Ahlus Sunnah wal jama’ah
(orang-orang yang mengikuti manhaj salaf), yaitu beriman kepada
Allah, Malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya,
(hari) kebangkitan setelah kematian, dan beriman kepada takdir Allah
yang baik maupun yang buruk.
Termasuk
iman kepada Allah (yang diyakini Ahlus Sunnah wal jama’ah) adalah
mengimani sifat-sifat Allah ta’ala
yang Dia tetapkan bagi diri-Nya dalam Al Qur-an dan yang ditetapkan
oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam (dalam hadits-hadits yang
shahih), tanpa tahriif
(menyelewengkan maknanya), tanpa ta’thiil
(menolaknya), tanpa takyiif
(membagaimanakan/menanyakan bentuknya), dan tanpa tamtsiil
(menyerupakannya dengan sifat-sifat makhluk). Ahlus Sunnah wal
jama’ah mengimani bahwa Allah ta’ala:
{لَيْسَ
كَمِثْلِهِ شَيْءٌ
وَهُوَ السَّمِيعُ
الْبَصِيرُ}
“Tidak
ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha
Mendengar lagi Maha Melihat.” (Qs.
Asy Syuura:11)
Maka
Ahlus Sunnah wal jama’ah tidak menolak sifat-sifat yang Allah
tetapkan bagi diri-Nya, tidak menyelewengkan makna firman Allah dari
arti yang sebenarnya, tidak menyimpang (dari kebenaran) dalam
(menetapkan) nama-nama Allah (yang maha indah) dan dalam (memahami)
ayat-ayat-Nya. Mereka tidak membagaimanakan /menanyakan bentuk sifat
Allah dan tidak menyerupakan sifat-Nya dengan sifat makhluk. Karena
Allah ta’ala
tiada yang serupa, setara dan sebanding dengan-Nya, Dia ta’ala
tidak boleh dianalogikan dengan makhluk-Nya, dan Dia-lah yang paling
mengetahui tentang diri-Nya dan tentang makhluk-Nya, serta Dia-lah
yang paling benar dan baik perkataan-Nya dibanding (semua)
makhluk-Nya. Kemudian (setelah itu) para Rasul-Nya shallallahu
‘alaihi wa sallam orang-orang yang
benar (ucapannya) dan dibenarkan, berbeda dengan orang-orang yang
berkata tentang Allah ta’ala
tanpa pengetahuan. Oleh karena itulah Allah ta’ala
Berfirman:
{سبحان
ربك رب
العزة عما
يصفون وسلام
على المرسلين
والحمد لله
رب العالمين}
“Maha
Suci Rabbmu Yang mempunyai kemuliaan dari apa yang mereka katakan,
Dan keselamatan dilimpahkan kepada para Rasul, Dan segala puji bagi
Allah Rabb seru sekalian alam.” (Qs.
Ash Shaaffaat: 180-182)
Maka
(dalam ayat ini) Allah menyucikan diri-Nya dari apa yang disifatkan
orang-orang yang menyelisihi (petunjuk) para Rasul shallallahu
‘alaihi wa sallam, kemudian Allah
menyampaikan salam (keselamatan) kepada para Rasul shallallahu
‘alaihi wa sallam karena selamat
(suci)nya ucapan yang mereka sampaikan dari kekurangan dan celaan.
Allah ta’ala
telah menghimpun antara an nafyu
(meniadakan sifat-sifat buruk) dan al
itsbat (menetapkan sifat-sifat yang
maha baik dan sempurna) dalam semua nama dan sifat yang Dia tetapkan
bagi diri-Nya, maka Ahlus Sunnah wal jama’ah sama sekali tidak
menyimpang dari petunjuk yang dibawa oleh para Rasul shallallahu
‘alaihi wa sallam, karena itulah
jalan yang lurus; jalannya orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh
Allah ta’ala,
yaitu para Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam, para shiddiqiin,
orang-orang yang mati syahid dan orang-orang yang shaleh.” (Kitab
“Al ‘Aqiidatul Waasithiyyah”
(hal. 6-8))
3-
Menggapai taufik dari Allah ta’ala
yang merupakan kunci pokok segala kebaikan
Berkata
Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyyah: “Kunci pokok segala kebaikan adalah
dengan kita mengetahui (meyakini) bahwa apa yang Allah kehendaki
(pasti) akan terjadi dan apa yang Dia tidak kehendaki maka tidak akan
terjadi. Karena pada saat itulah kita yakin bahwa semua kebaikan
(amal shaleh yang kita lakukan) adalah termasuk nikmat Allah (karena
Dia-lah yang memberi kemudahan kepada kita untuk bisa melakukannya),
sehingga kita akan selalu mensyukuri nikmat tersebut dan
bersungguh-sungguh merendahkan diri serta memohon kepada Allah agar
Dia tidak memutuskan nikmat tersebut dari diri kita. Sebagaimana
(kita yakin) bahwa semua keburukan (amal jelek yang kita lakukan)
adalah karena hukuman dan berpalingnya Allah dari kita, sehingga kita
akan memohon dengan sungguh-sungguh kepada Allah agar menghindarkan
diri kita dari semua perbuatan buruk tersebut, dan agar Dia tidak
menyandarkan (urusan) kita dalam melakukan kebaikan dan meninggalkan
keburukan kepada diri kita sendiri.
Telah
bersepakat al ‘Aarifun
(orang-orang yang memiliki pengetahuan yang dalam tentang Allah dan
sifat-sifat-Nya) bahwa asal semua kebaikan adalah taufik dari Allah
ta’ala
kepada hamba-Nya, sebagaimana asal semua keburukan adalah khidzlaan
(berpalingnya) Allah ta’ala
dari hamba-Nya. Mereka juga bersepakat bahwa (arti) taufik itu adalah
dengan Allah tidak menyandarkan (urusan) kita kepada diri kita
sendiri, dan (sebaliknya arti) al
khidzlaan (berpalingnya Allah ta’ala
dari hamba) adalah dengan Allah membiarkan diri kita (bersandar)
kepada diri kita sendiri (tidak bersandar kepada Allah ta’ala)…”
Oleh
karena itulah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam berlindung dari
hal ini dalam doa beliau yang terkenal dan termasuk doa yang
dianjurkan untuk dibaca pada waktu pagi dan petang: “…
(Ya Allah!) jadikanlah baik semua urusanku dan janganlah Engkau
membiarkan diriku bersandar kepada diriku sendiri (meskipun cuma)
sekejap mata.” (HR. An Nasa-i dalam
“As Sunan”
(6/147) dan Al Hakim dalam “Al
Mustadrak” (no. 2000), dishahihkan
oleh Al Hakim, disepakati oleh Adz Dzahabi dan dihasankan oleh Syaikh
Al Albani dalam Silsilatul Ahaaditsish
Shahihah (1/449, no. 227)) (Kitab Al
Fawa-id (hal. 133- cet. Muassasah
ummil Qura, Mesir 1424 H))
Dari
keterangan Imam Ibnul Qayyim di atas jelaslah bagi kita bahwa kunci
pokok segala kebaikan adalah memahami dan mengimani bahwa apa yang
Allah kehendaki (pasti) akan terjadi dan apa yang Dia tidak kehendaki
maka tidak akan terjadi, yang ini merupakan kesimpulan makna iman
kepada takdir Allah ta’ala
yang baik maupun yang buruk. Dan sekali lagi ini menunjukkan besarnya
manfaat dan keutamaan mengikuti manhaj salaf, karena pemahaman yang
benar terhadap masalah takdir Allah ta’ala
hanya ada pada manhaj salaf. Untuk lebih jelasnya, baca keterangan
Ibnu Taimiyyah dalam Al ‘Aqiidatul
waasithiyyah (hal. 22) tentang
lurusnya pemahaman Ahlus Sunnah wal jama’ah dalam masalah iman
kepada takdir Allah dan sesatnya pemahaman-pemahaman lain yang
menyimpang dari pemahaman Ahlus Sunnah wal jama’ah.
4-
Mendapatkan semua kemuliaan yang Allah Ta’ala
sediakan di akhirat
Imam
Ibnu Katsir ketika menjelaskan kewajiban mengimani keberadaan Al
Haudh (telaga milik Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam
di akhirat nanti) yang merupakan bagian dari iman kepada hari akhir,
beliau berkata: “Penjelasan tentang telaga Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam –semoga Allah
Memudahkan kita meminum dari telaga tersebut pada hari kiamat–
(yang disebutkan) dalam hadits-hadits yang telah dikenal dan
(diriwayatkan) dari banyak jalur yang kuat, meskipun ini tidak
disukai oleh orang-orang ahlul bid’ah yang bersikeras kepala
menolak dan mengingkari keberadaan telaga ini. Mereka inilah yang
paling terancam untuk dihalangi (diusir) dari telaga tersebut (pada
hari kiamat) (Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits
shahih riwayat Imam Al Bukhari (no. 6211) dan Muslim (no. 2304) dari
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu.),
sebagaimana ucapan salah seorang ulama salaf: “Barangsiapa yang
mendustakan (mengingkari) suatu kemuliaan maka dia tidak akan
mendapatkan kemuliaan tersebut…” (Kitab An
Nihayah Fiil Fitani Wal Malaahim (hal.
127))
Ucapan
yang dinukil oleh Imam Ibnu Katsir ini menunjukkan bahwa semua
kemuliaan yang Allah ta’ala
sediakan di akhirat, seperti kenikmatan di alam kubur, meminum dari
telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam, mendapatkan Syafa’at
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan orang-orang yang diizinkan
Allah ta’ala
untuk memberikan syafaat bahkan termasuk kenikmatan di dalam surga,
hanyalah Allah ta’ala
anugerahkan kepada orang-orang yang tidak mengingkari dan
mengimaninya dengan benar. Ini juga menunjukkan besarnya manfaat dan
keutamaan mengikuti manhaj salaf, karena hanya dengan mengikuti
manhaj salaflah kita bisa memahami dan mengimani hal-hal tersebut
dengan baik dan benar, sehingga orang-orang yang memahami dan
mengimani hal-hal tersebut berdasarkan manhaj salaf merekalah yang
paling diutamakan untuk meraih semua kemuliaan tersebut dengan
sempurna. Adapun orang-orang yang tidak memahami dan mengimani
hal-hal tersebut dengan benar karena tidak mengikuti manhaj salaf,
maka mereka sangat terancam untuk terhalangi dari mendapatkan
kemuliaan-kemuliaan tersebut, minimal akan berkurang kesempurnaannya,
tergantung dari jauh dekat pemahaman tersebut dari pemahaman salaf.
Penutup
Contoh-contoh di
atas jelas sekali menunjukkan besarnya manfaat dan keutamaan yang
bisa kita raih di dunia dan akhirat dengan mengikuti manhaj salaf,
masih banyak contoh lain yang tidak mungkin kami sebutkan semua.
Semoga dengan contoh-contoh ini kita semakin termotivasi untuk lebih
giat mengkaji dan mengamalkan petunjuk para ulama salaf dalam
beragama, agar kita semakin sempurna mendapatkan manfaat dan kebaikan
yang Allah ta’ala sediakan bagi hamba-hambanya yang
menjalankan agamanya dengan baik dan benar.
Sebagai penutup,
alangkah indahnya ucapan seorang penyair yang berkata:
Semua
kebaikan (hanya dapat dicapai) dengan mengikuti (manhaj) salaf
Dan semua keburukan ada pada perbuatan bid’ah orang-orang khalaf
Dan semua keburukan ada pada perbuatan bid’ah orang-orang khalaf
Khalaf adalah
orang-orang yang menyelisihi manhaj
salaf.
وصلى
الله وسلم
وبارك على
نبينا محمد
وآله وصحبه
أجمعين، وآخر
دعوانا أن
الحمد لله
رب العالمين
Kota
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
5 Dzulqa’dah 1429 H
***
Penulis:
Abdullah bin Taslim Al Buthoni
Artikel www.muslim.or.id
Artikel www.muslim.or.id
