Niat Baik Semata Tidaklah Cukup

yang penting niatnya baikSemua pelaku bid'ah mengaku berniat baik dalam melakukan bid'ahnya
Sungguh telah benar apa yang telah dikabarkan oleh Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam,

بَدَأَ الإِسْلاَمُ غَرِيْبًا وَسَيَعُوْدُ غَرِيْبًا كَمَا بَدَأَ

((Islam ini muncul dalam keadaan asing dan akan kembali asing sebagaimana awal kemunculannya)).
Bid'ah telah tersebar dan merajalela di mana-mana bahkan telah mengakar dalam kehidupan kaum muslimin hingga orang awam menganggapnya merupakan syari'at Islam yang tegak dan apa saja yang menyelisihinya adalah kebatilan. Adapun orang yang berpegang teguh dengan sunnah Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam maka akan dianggap oleh mereka telah keluar dari sunnah dan telah membawa bid'ah (perkara yang baru).

Pembahasan bid'ah merupakan pembahasan yang sangat penting karena semua penyimpangan dan kesesatan yang bermunculan dalam kelompok-kelompok sesat asal muasalnya adalah karena bid'ah yang telah mereka lakukan yang menyelisihi apa yang telah dijalani oleh Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya, baik penyimpangan tersebut dalam masalah aqidah (keyakinan) maupun dalam perkara amalan.

Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّيْنَ الرَّاشِدِيْنَ تَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

((…karena seseungguhnya barang siapa diantara kalian yang hidup sepeninggalku maka dia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian untuk berpegang teguh dengan sunnah-sunnahku dan sunnah para Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Gigitlah sunnah-sunnah tersebut dengan geraham kalian. Dan hati-hatilah kalian terhadap perkara-perkara yang baru karena setiap bid’ah adalah kesesatan)) (HR Abu Dawud 4/200 no 4607 dan adalah lafal Abu dawud, Al-Hakim 1/174 dan beliau berkata, “Ini adalah hadits yang shahih yang tidak ada ‘illahnya”, Ibnu Hibban 1/180).

Cukuplah kenyataan yang kita saksikan sekarang ini dalam dunia Islam menjadi bukti besarnya bahaya bid’ah. Betapa banyak kelompok sesat yang ada di dunia Islam. Ada Al-Qur’aniun (kelompok yang menolak seluruh hadits-hadits Nabi), Ahmadiah (golongan yang mengaku ada Nabi baru), Mu'tazilah (yang menolak hadits-hadits ahad, bahkan menolak hadits-hadits mutawatir seperti hadits-hadits yang menerangkan tentang adanya adzab qubur), Jema’ah-jema’ah takfir yang jumlahnya sangat banyak (yaitu jema’ah-jema’ah yang mengkafirkan orang-orang yang berada diluar golongannya karena tidak berbai’at kepada imam mereka), kelompok tharekat-tharekat sufiah yang sesat yang jumlahnyapun sangat banyak (yang beribadah atau berdzikir dengan cara-cara yang khusus, setiap tharekat caranya berbeda dengan taharekat yang lain), kelompok yang menganggap diri mereka telah sampai pada derajat hakekat sehingga boleh meninggalkan syari’at sehingga tidak perlu sholat lagi, Syi’ah yang menghalalkan nikah kontrak (walaupun hanya satu jam saja pernikahannya setelah itu langsung cerai yang tidak lain ini adalah perzinahan) dan mengkafirkan sebagian besar para sahabat (termasuk Abu Bakar Umar yang telah dijamin masuk surga), Wihdatul wujuud (yang menyakini bahwa Allah menitis pada makhluknya), Jahmiyyah (yang meyakini bahwa Allah tidak memiliki sifat) dan masih banyak sekali kelompok-kelompok yang lain.

Yang anehnya setiap kelompok merasa diri merekalah yang paling benar. Tidaklah kesesatan mereka timbul kecuali karena bid’ah yang mereka ada-adakan. Setiap kelompok punya bid’ah khusus yang tidak terdapat pada kelompok yang lain. Dan kelompok-kelompok tersebut jika ditanya tentang niat mereka dalam melakukan bid'ah maka semuanya akan menyatakan niat mereka adalah baik dalam rangka untuk membenahi cara beragama kaum muslimin.

-   Jika Jahmiyyah ditanya : Kenapa kalian menyatakan bahwa Allah tidak memiliki sifat, Allah tidak berilmu, Allah tidak maha mendengar?, maka mereka akan menjawab : Niat kami baik, kami ingin mensucikan Allah dari sifat-sifat makhluk, karena melihat, berilmu, dan mendengar merupakan sifat-sifat makhluk.

-   Jika mu'tazilah ditanya : Kenapa kalian juga menolak sifat, bahkan kalian mengatakan bahwa Allah tidak bisa dilihat baik di dunia maupun di akhirat?, maka mereka akan berkata : Niat kami baik, karena kami ingin mensucikan Allah dari sifat jismiyah, karena sesuatu yang bisa dilihat pasti dilihat dari suatu arah, dan sesuatu yang ada di suatu arah pasti berjism

-   Jika Asyaa'iroh mutaakhirin ditanya : Kenapa kalian menyatakan bahwa Allah tidak di atas dan tidak di bawah, tidak di dalam alam dan tidak di luar alam?, maka mereka akan menjawab : Niat kami baik, karena kami ingin mensucikan Allah dari sifat-sifat makhluk, karena yang berada di atas adalah makhluk yang berjism, demikian juga yang di bawah.

-    Jika Syi'ah ditanya : Kenapa kalian menyayat tubuh kalian hingga berdarah tatkala memperingati hari Asyuuroo?, maka mereka akan menjawab : Niat kami baik untuk ikut merasakan kesedihan dan kepedihan yang dirasakan oleh Imam Al-Husain yang terbunuh tatkala hari asyuuroo.

Seluruh pelaku bid'ah berniat baik tatkala melakukan bid'ahnya. Namun perkaranya sebagaimana perkataan Ibnu Mas'uud radhiallahu 'anhu :

وَكَمْ مِنْ مُرِيْدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيْبَهُ

"Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan akan tetapi tidak meraihnya"



Niat baik??, tidak cukup!!! 


Suatu amalan tidak bisa dikatakan bahwa amalan tersebut merupakan amalan yang sholeh dan diterima oleh Allah kecuali jika memanuhi dua persyaratan. Harus dibangun diatas niat yang ikhlas dan harus sesuai dengan syari’at Rasulullah. Jika salah satu dari dua perkara ini tidak ada maka amalan tersebut tidak akan diterima di sisi Allah walaupun nampaknya seperti amalan sholeh.

Ibadah membutuhkan keikhlasan (pemurnian niat) karena sesungguhnya ibadah hanyalah ditujukan kepada Allah. Barangsiapa yang beribadah kepada Allah dan juga beribadah kepada selain Allah berarti dia tidak memurnikan niatnya. Demikian juga ibadah membutuhkan pemurnian dalam mencontohi Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam. Tidaklah ada satu ibadahpun kecuali harus sesuai dengan contoh yang diberikan oleh Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam. Barangsiapa yang ibadahnya tidak berdasarkan contoh yang diberikan Rasulullah berarti ia tidak memurnikan teladan kepada Rasulullah. Inilah konsekuensi dari syahadatain yang merupakan pondasi setiap muslim.

Syahadat yang pertama “Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah”, konsekuensinya tidak boleh kita menyembah (menyerahkan ibadah kita) kepada selain Allah.

Allah berfirman:

﴿وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ﴾ (البينة: من الآية5)

“Padahal mereka tidak disuruh, kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus”

Syahadat yang kedua “Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah”, konsekuensinya tidak boleh kita mengambil syariat kecuali dari syari’at Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam. Barangsiapa yang membuat syari’at baru yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah maka berarti dia tidak memurnikan syahadatnya kepada Rasulullah dan syari’at barunya itu tertolak dan tidak diterima oleh Allah meskipun niatnya baik, bahkan ia berhak mendapatkan dosa. Oleh karena itu Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang membuat perkara baru dalam agama maka akan tertolak”
 (HR Al-Bukhari no 2697 dan Muslim no 1718)

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak diperintahkan oleh kami maka amalan tersebut tertolak” (HR Muslim no 1718)

Berikut ini beberapa bukti bahwa niat yang baik saja tidak cukup untuk menjadikan suatu amalan adalah amalan sholeh yang diterima di sisi Allah.


Contoh yang pertama

عَنِ الْبَرَاء بْنِ عَازِبٍ قَالَ : خَطَبَنَا رَسُوْلُ اللهِ  صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  يَوْمَ النَّحْرِ بَعْدَ الصَّلاَةِ فَقَالَ : مَنْ صَلَّى صَلاَتَنَا وَنَسَكَ نُسُكَنَا فَقَدْ أَصَابَ النُّسُكَ وَمَنْ نَسَكَ قَبْلَ الصَّلاَةِ فَتِلْكَ شَاةُ لَحْمٍ (وفي رواية:فَلْيَذْبَحْ أُخرى مَكَانَهَا).

فقام أبو بردة بن نِيَارٍ فقال : يا رسولَ الله واللهِ لَقَدْ نَسَكْتُ قبلَ أنْ أَخْرُجَ إلى الصَّلاةِ وَعَرَفْتُ أن اليومَ يومُ أكلٍ وشُرْبٍ فَتَعَجَّلْتُ وأكلتُ وأطعمتُ أهْلِي وَجِيْرَانِي، فقال رسول الله  صلى الله عليه وسلم : تِلْكَ شَاةُ لَحْمٍ

Dari Al-Baro’ bin ‘Azib, ia berkata, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkhutbah kepada kami pada waktu hari ‘iedul adha, lalu ia berkata, “Barangsiapa yang sholat ‘ied kemudian menyembelih hewan kurban maka dia telah benar dan barangsiapa yang menyembelih sebelum sholat ‘ied maka sembelihannya hanyalah sembelihan biasa (bukan sembelihan kurban) (Dalam riwayat yang lain (HR Al-Bukhari no 985) “Maka hendaknya ia menyembelih sembelihan yang lain sebagai gantinya!)”. Abu Burdah bin Niyaar berdiri dan berkata, “Ya Rasulullah, demi Allah aku telah menyembelih sembelihanku sebelum aku keluar untuk shalat ‘Ied, dan aku mengetahui bahwasanya hari ini adalah hari makan minum maka akupun bersegera (menyembelihnya) lalu memakannya dan aku memberi makanan kepada keluargaku dan para tetanggaku”. Maka Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam berkata, “Daging sembelihanmu itu hanyalah daging biasa (bukan daging kurban)”( HR Al-Bukhari no 983)

Dalam riwayat yang lain Abu Burdah berkata, وَ أَحببْتُ أن تَكون شَاتِي أولَ مَا يُذْبَح فِي بيتِي “Aku ingin agar kambingku adalah kambing yang pertama kali disembelih di rumahku” (HR Al-Bukhari no 955)

Dalam riwayat yang lain (HR Muslim 3/1552) Abu Burdah berkata, وَإنِّي عَجَّلْتُ نَسِيْكَتِي لِأُطْعِمَ أهلي وجيراني وأهلَ دَاري “Ya Rasulullah, aku bersegera memotong sembelihanku untuk memberi makan keluargaku, para tetanggaku, dan para familiku!”
Berkata Ibnu Hajar, “Syaikh Abu Muhammad bin Abi Hamzah berkata, “Hadits ini menunjukan bahwa suatu amalan meskipun dibangun di atas niat yang baik namun jika tidak sesuai dengan syari’at maka tidak sah”” (Fathul Bari 10/22, syarh hadits no 5557)

Lihatlah bagaimana niat baik Abu Burdah tidak menjadikan sembelihan kurbannya diterima padahal ia melakukannya bukan karena sengaja melanggar syari’at Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam, namun ia melakukannya karena tidak tahu akan hal itu. Padahal kalau kita renungkan bisa jadi ide Abu Burdah tersebut merupakan ide yang sangat cemerlang, apalagi di zaman kita sekarang ini yang terkadang sholat ‘iednya lama, kalau para jama’ah pulang dari sholat dalam keadaan lapar dan hewan sembelihan kurban telah siap dihidangkan (karena telah disembelih sebelum sholat ‘ied) maka sungguh baik. Namun ide yang cemerlang ini melanggar syari’at Nabi dan meskipun disertai dengan niat yang baik tidak bisa menjadikan amalan tersebut diterima.

Contoh yang kedua

عن أنس قال : لَمْ يَكُنْ شَخْصٌ أَحَبّ إِليهم مِنْ رسولِ الله  صَلَّى اللهُ عليه وَسَلَّم  قال وَكَانُوا إِذَا رَأَوْهُ لَمْ يَقُوْمُوا لِمَا يَعْلَمُوْنَ مِنْ كَرَاهِيَتِهِ لَذَلِكَ

Anas bin Malik berkata, “Tidak seorangpun di dunia ini yang lebih mereka (para sahabat) cintai melebihi Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam, namun jika mereka melihat Rasulullah mereka tidak berdiri karena mengetahui bahwa Rasulullah membenci akan hal itu” (HR At-Thirmidzi no 2763, Ibnu Abi Syaibah dalam musonnafnya (5/234), dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah (1/698))

Berkata Imam An-Nawawi, “…Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam khawatir akan menimpa para sahabat fitnah jika mereka terlalu berlebih-lebihan dalam mengagungkan dirinya, maka beliau membenci jika para sahabat berdiri dikarenakan akan hal ini sebagaimana sabda beliau shalallahu 'alaihi wa sallam :   لا تُطْرُوْنِي  “Janganlah kalian terlalu berlebih-lebihan kepadaku…” (Fathul Bari 11/64, syarh hdits no 6262)

Setiap kita mengetahui bahwa sifat dasar manusia adalah ingin dihargai dan dihormati. Oleh karena itu banyak orang yang senang jika tatkala ia masuk dalam ruangan kemudian para hadirin yang tadinya dudukpun berdiri menghormatinya. Bahkan hal ini dipraktekan dalam lembaga-lembaga perkantoran, hingga dilingkungan pendidikan. Bahkan tak jarang seorang guru marah jika ia masuk ke dalam kelas kemudian murid-muridnya tidak berdiri menghormatinya. Oleh karena itu merupakan ide yang cemerlang jika datang seseorang yang terhormat lantas kita berdiri untuk menghormatinya, tentunya ia akan merasa senang. Demikian juga hal ini terlintas di benak para sahabat untuk berdiri menghormati Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam  jika ia datang. Namun ide yang cemerlang ini mereka timbang dengan sunnah Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam. Ternyata sunnah Nabi  menunjukan bahwa Nabi tidak suka akan hal itu, maka para sahabatpun tidak mempraktekannya.

Contoh yang ketiga

جاء ثلاثة رهط إلى بيوت أزواج النبي  صلى الله عليه وسلم  يسألون (وفي رواية: سألوا أزواج النبي  صلى الله عليه وسلم  عن عمله في السر) عن عبادة النبي  صلى الله عليه وسلم  فلما أخبروا كأنهم تُقَالُّوْهَا فقالوا وأين نحن من النبي  صلى الله عليه وسلم  قد غفر الله له ما تقدم من ذنبه وما تأخر قال أحدهم أمَّا أنا فإني أصلي الليل أبدا وقال آخر انا أصوم الدهر ولا أفطر وقال آخر أنا أعتزل النساء فلا أتزوج أبدا فجاء رسول الله  صلى الله عليه وسلم  فقال أنتم الذين قلتم كذا وكذا أمَا والله إني لأخشاكم لله وأتقاكم له لكني أصوم وأفطر وأصلي وأرقد وأتزوج النساء فمن رغب عن سنتي فليس مني

Dari Anas bin Malik, Ia berkata, :Datang tiga orang ke rumah istri-istri Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam, mereka bertanya tentang ibadah Nabi (Dalam riwayat Muslim: “Mereka bertanya kepada istri-istri Nabi tentang amalan Nabi yang tidak terang-terangan). Tatkala mereka diberitahu tentang ibadah Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam seakan-akan mereka merasa bahwa ibadah tersebut sedikit, maka mereka berkata, “Dimanakah kita jika dibanding dengan Nabi?, ia telah dimaafkan dosa-dosanya oleh Allah baik yang telah lalu maupun yang akan datang”. Seorang diantara mereka berkata, “Adapun aku maka aku akan sholat malam selama-lamanya (tidak tidur malam)”, yang lainnya berkata, “Saya akan puasa dahar dan aku tidak akan pernah buka”, dan berkata yang lainnya, “Aku akan menjauhi para wanita, dan aku tidak akan menikah selama-lamanya”. Lalu datanglah Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam  dan berkata, “Apakah kalian yang telah berkata demikian dan demikian?, ketahuilah, demi Allah sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut dan paling bertakwa kepada Allah daripada kalian, namun aku berpuasa dan berbuka, aku sholat (yaitu sholat malam) dan tidur, dan aku menikahi para wanita. Barangsiapa yang benci terhadap sunnahku maka dia bukan termasuk dariku” (HR Al-Bukhari no 5063, dalam riwayat Muslim (2/1020) وقال بعضهم لا آكل اللحم وقال بعضهم لا أنام على فراش “Berkata salah seorang dari mereka, “Aku tidak akan memakan daging”, berkata yang lain, “Aku tidak akan tidur di atas tempat tidur” )

Ibnu Hajar berkata “Dan dalam riwayat yang mursal dari Sa’id ibnul Musayyib sebagaimana dikeluarkan oleh Abdurrozaq dalam musonnafnya (6/167) bahwasanya tiga orang tersbut adalah Ali bin Abi Tholib, Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash dan Utsman bin Madz’un” (Fathul Bari 9/132)

Kalau kita perhatikan mereka tiga orang tersebut menghendaki kebaikan, bahkan sama sekali mereka tidak menghendaki keburukan. Apakah perkataan salah seorang dari mereka “Saya akan menjauhi para wanita” karena ia lemah syahwat??, tentu tidak, namun tidak lain adalah untuk beribadah kepada Allah. Perkataan salah seorang dari mereka “Saya akan sholat malam selama-lamanya” menunjukan ia akan sungguh-sungguh bermujahadah melawan hawa nafsunya demi beribadah sujud kepada Allah. Mereka memandang bahwa kehidupan dunia ini fana lalu merekapun mengedepankan hak Allah dari pada kesenangan kehidupan duniawi. Tatkala mereka mengetahui ibadah Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam yang telah dimaafkan dosa-dosa beliau baik yang telah lampau maupun yang akan datang, maka mereka berkesimpulan bahwa ibadah mereka harus lebih banyak dari apa yang telah diamalkan oleh Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam karena tidak ada jaminan ampunan dosa-dosa mereka yang telah lampau apalagi dosa-dosa yang akan datang. Mereka beranggapan bahwa barangsiapa yang tidak dijamin ampunan dosa-dosanya maka harus berlebih-lebihan dalam beribadah dengan harapan memperoleh ampunan Allah dengan ibadah yang berlebih-lebihan tersebut. (Lihat penjelasan Ibnu Hajar dalam Al-Fath 9/132). Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam membantah persangkaan mereka dengan berkata إني لأخشاكم لله وأتقاكم له “Sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut dan paling bertakwa kepada Allah dibanding kalian” untuk menjelaskan bahwa bukan merupakan suatu kelaziman bahwa orang yang lebih takut kepada Allah (karena belum jelas jaminan ampunan dosa) harus berlebih-lebihan dalam beribadah, karena bagaimanapun juga Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam (walaupun telah diampunkan dosa-dosa) beliaulah yang lebih takut kepada Allah dibandingkan mereka, namun beliau shalallahu 'alaihi wa sallam tidak berlebih-lebihan dalam beribadah. (Lihat Fathul Bari 9/132) Nabi tidak berkata kepada mereka “Bersungguh-sungguhlah, teruskan niat baik kalian semoga Allah memberi taufik kepada kalian dan memudahkan kesungguhan kalian dalam beribadah kepada Allah”, namun Nabi sama sekali tidak memberi kesempatan kepada mereka. Nabi tidak memandang niat baik mereka, karena amal yang hendak mereka lakukan tidak sebagaimana yang dicontohkan Nabi. Bahkan Nabi membantah perkataan mereka satu persatu, beliau berkata “aku berpuasa dan berbuka” untuk membantah perkataan orang yang pertama, “aku sholat (yaitu sholat malam) dan tidur” untuk membantah perkataan orang yang kedua, “dan aku menikahi para wanita” untuk membantah perkataan orang yang ketiga, kemudian Nabi mengakhiri bantahannya dengan perkataannya yang keras “Barangsiapa yang membenci sunnahku maka ia tidak termasuk dariku”



Contoh yang keempat

أَخْبَرَنَا الْحَكَمُ بْنُ الْمُبَارَكِ أَنْبَأَنَا عَمْرُو بْنُ يَحْيَى قَالَ سَمِعْتُ أَبِى يُحَدِّثُ عَنْ أَبِيهِ قَالَ : كُنَّا نَجْلِسُ عَلَى بَابِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَبْلَ صَلاَةِ الْغَدَاةِ ، فَإِذَا خَرَجَ مَشَيْنَا مَعَهُ إِلَى الْمَسْجِدِ ، فَجَاءَنَا أَبُو مُوسَى الأَشْعَرِىُّ فَقَالَ : أَخَرَجَ إِلَيْكُمْ أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ بَعْدُ؟ قُلْنَا : لاَ ، فَجَلَسَ مَعَنَا حَتَّى خَرَجَ ، فَلَمَّا خَرَجَ قُمْنَا إِلَيْهِ جَمِيعاً ، فَقَالَ لَهُ أَبُو مُوسَى : يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ إِنِّى رَأَيْتُ فِى الْمَسْجِدِ آنِفاً أَمْراً أَنْكَرْتُهُ ، وَلَمْ أَرَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ إِلاَّ خَيْراً. قَالَ : فَمَا هُوَ؟ فَقَالَ : إِنْ عِشْتَ فَسَتَرَاهُ - قَالَ - رَأَيْتُ فِى الْمَسْجِدِ قَوْماً حِلَقاً جُلُوساً يَنْتَظِرُونَ الصَّلاَةَ ، فِى كُلِّ حَلْقَةٍ رَجُلٌ ، وَفِى أَيْدِيهِمْ حَصًى فَيَقُولُ : كَبِّرُوا مِائَةً ، فَيُكَبِّرُونَ مِائَةً ، فَيَقُولُ : هَلِّلُوا مِائَةً ، فَيُهَلِّلُونَ مِائَةً ، وَيَقُولُ : سَبِّحُوا مِائَةً فَيُسَبِّحُونَ مِائَةً. قَالَ : فَمَاذَا قُلْتَ لَهُمْ؟ قَالَ : مَا قُلْتُ لَهُمْ شَيْئاً انْتِظَارَ رَأْيِكَ أَوِ انْتِظَارَ أَمْرِكَ. قَالَ : أَفَلاَ أَمَرْتَهُمْ أَنْ يَعُدُّوا سَيِّئَاتِهِمْ وَضَمِنْتَ لَهُمْ أَنْ لاَ يَضِيعَ مِنْ حَسَنَاتِهِمْ. ثُمَّ مَضَى وَمَضَيْنَا مَعَهُ حَتَّى أَتَى حَلْقَةً مِنْ تِلْكَ الْحِلَقِ ، فَوَقَفَ عَلَيْهِمْ فَقَالَ : مَا هَذَا الَّذِى أَرَاكُمْ تَصْنَعُونَ؟ قَالُوا : يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ حَصًى نَعُدُّ بِهِ التَّكْبِيرَ وَالتَّهْلِيلَ وَالتَّسْبِيحَ. قَالَ : فَعُدُّوا سَيِّئَاتِكُمْ فَأَنَا ضَامِنٌ أَنْ لاَ يَضِيعَ مِنْ حَسَنَاتِكُمْ شَىْءٌ ، وَيْحَكُمْ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ مَا أَسْرَعَ هَلَكَتَكُمْ ، هَؤُلاَءِ صَحَابَةُ نَبِيِّكُمْ -صلى الله عليه وسلم- مُتَوَافِرُونَ وَهَذِهِ ثِيَابُهُ لَمْ تَبْلَ وَآنِيَتُهُ لَمْ تُكْسَرْ ، وَالَّذِى نَفْسِى فِى يَدِهِ إِنَّكُمْ لَعَلَى مِلَّةٍ هِىَ أَهْدَى مِنْ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ ، أَوْ مُفْتَتِحوا بَابِ ضَلاَلَةٍ. قَالُوا : وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا أَرَدْنَا إِلاَّ الْخَيْرَ. قَالَ : وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ ، إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- حَدَّثَنَا أَنَّ قَوْماً يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ ، وَايْمُ اللَّهِ مَا أَدْرِى لَعَلَّ أَكْثَرَهُمْ مِنْكُمْ. ثُمَّ تَوَلَّى عَنْهُمْ ، فَقَالَ عَمْرُو بْنُ سَلِمَةَ : رَأَيْنَا عَامَّةَ أُولَئِكَ الْحِلَقِ يُطَاعِنُونَا يَوْمَ النَّهْرَوَانِ مَعَ الْخَوَارِجِ

Berkata Imam Ad-Darimi dalam sunannya, “Telah mengabarkan kepada kami Al-Hakam bin Al-Mubarok, ia berkata, “Telah mengabarkan kepada kami Umar bin Yahya”, ia berkata, “Aku mendengar ayahku menyampaikan hadits dari ayahnya”, ia berkata, “Kami duduk di depan pintu rumah Abdullah bin Mas’ud sebelum sholat subuh, jika ia keluar dari rumahnya maka kamipun berjalan bersamanya menuju mesjid. Lalu datang Abu Musa Al-As’ari dan berkata, “Apakah Abu Abdirrohman (yaitu Abdullah bin Mas’ud) telah keluar menemui kalian?”, kami katakan, “Belum”, maka iapun duduk bersama kami hingga keluar Abdullah bin Mas’ud. Tatkala Abdullah bin Mas’ud keluar dari pintunya kamipun semua berdiri menuju kepadanya, lalu Abu Musa berkata kepada Abdullah bin Mas’ud, “Ya Abu Abdirrahman, aku baru saja melihat suatu perkara yang aku ingkari di mesjid, namun menurutku –alhamdulillah- adalah perkara yang baik”. Abdullah berkata, “Perkara apakah itu?”, Abu Musa berkata, “Jika engkau panjang umur maka engkau akan melihatnya, aku telah melihat di mesjid sekelompok manusia yang duduk berhalaqoh-halaqoh menunggu sholat. Di setiap halaqoh ada seorang (yang memimpin mereka) dan ditangan mereka ada kerikil-kerikil. Maka orang ini berkata, “Bertakbirlah seratus kali!” maka merekapun bertakbir seratus kali. Ia berkata, “Bertahlillah seratus kali!” maka merekapun bertahlil seratus kali. Ia berkata, “Bertasbihlah seratus kali!” maka merekapun bertasbih seratus kali.”. Abdullah berkata, “Apa yang kau katakan kepada mereka?”, Abu Musa berkata, “Aku tidak mengatakan sesuatupun karena menanti pendapatmu atau perintahmu”. Berkata Abdullah, “Kenapa engkau tidak memerintahkan mereka untuk menghitung-hitung kesalahan-kesalahan mereka dan engkau menjamin bahwa kebaikan-kebaikan mereka tidak akan hilang!”. Kemudian berjalanlah Abdullah bin Mas’ud dan kamipun berjalan bersamanya hingga ia mendatangi salah satu dari halaqoh-halaqoh tersebut dan iapun berdiri di hadapan mereka dan berkata, “Apa ini yang sedang kalian lakukan?”, mereka berkata, “Ini adalah kerikil-kerikil yang kami gunakan untuk menghitung takbir, tahlil, dan tasbih”. Abdullahpun berkata, “Hitung saja kesalahan-kesalahan (dosa-dosa) kalian maka aku akan menjamin bahwa tidak ada sedikitpun kebaikan kalian yang hilang. Wahai umat Muhammad sungguh cepat kebinasaan kalian. Para sahabat Nabi kalian masih banyak tersebar, pakaian Nabi kalian masih belum usang dan tempayan-tempayan beliau masih belum pecah. Demi Dzat Yang jiwaku berada di tanganNya, sesungguhnya kalian sedang berada pada suatu agama yang lebih baik daripada agamanya Muhammad atau kalian adalah pembuka pintu kesesatan”. Mereka berkata, “Ya Abu Abdirrahman, sesungguhnya yang kami inginkan adalah kebaikan”. Abdullah berkata, “Dan betapa banyak orang yang menghendaki kebaikan namun ia tidak meraihnya.Sesungguhnya Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam telah menyampaikan kepada kami bahwa akan ada suatu kaum yang mereka membaca Al-Qur’an namun tidak melewati kerongkongan mereka (yaitu hanya di mulut dan tidak sampai ke hati-pen), demi Allah aku khawatir kabanyakan mereka adalah kalian”, kemudian Abdullahpun berpaling dari mereka. Berkata ‘Amr bin Salamah, “Saya melihat bahwa kebanyakan mereka yang mengadakan halaqoh-halaqoh tersebut telah membela khowarij melawan kami tatkala perang An-Nahrowan” (HR AD-Darimi 1/69, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah 5/11)

Perhatikanlah bagaimana kisah ini. Kalau sekilas diperhatikan apa yang mereka lakukan adalah hal yang baik, mereka menunggu sholat sambil berdzikir kepada Allah. Bisa saja seseorang berkata, “Jika seseorang berdzikir sendirian sambil menunggu sholat bisa jadi dia ngantuk, berbeda jika berdzikir dilakukan secara berjamaah dengan satu suara, tentunya menimbulkan semangat dan menghilangkan kebosanan, jadi apa yang mereka lakukan adalah ide yang sangat baik dan cemerlang”. Sebagaiamana perkataan mereka menjelaskan niat mereka melakukan hal ini “Ya Abu Abdirrahman, sesungguhnya yang kami inginkan adalah kebaikan”. Namun ide cemerlang ini tatkala tidak sesuai dengan sunnah maka bukan merupakan syari’at Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam, Kalau ia merupaka syari’at Rasulullah  tentunya Rasulullah  telah menyampaikannya kepada umatnya, karena merupakan kewajiban bagi Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam untuk menyampaikan semua perkara syari’at, semua kebaikan yang bisa mendekatkan umatnya ke surga dan mengingatkan umatnya dari semua perkara yang bisa mengantarkan mereka ke neraka. Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّهُ لَمْ يَكُنْ نَبْيٌّ قَبْلِي إِلاَّ كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ وَيُنْذِرُهُمْ شَرَّ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ

((Sesungguhnya tidak seorang nabipun sebelumku kecuali wajib baginya untuk menunjukan umatnya kepada kebaikan yang ia ketahui bagi mereka dan mengingatkan umatnya dari kejelakan yang ia ketahui)) (HR Muslim 3/1472 no 1844)

Seluruh kebaikan yang diketahui Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam maka wajib baginya untuk menyampaikannya kepada umatnya. Oleh karena itu jika seseorang menganggap bid’ah itu baik maka ia telah menuduh Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam telah berkhianat kepada Allah karena berarti ada syari’at yang diketahui oleh Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam namun tidak ia sampaikan kepada umatnya.

Berkata Imam Malik:

مَنْ أَحْدَثَ فِي هَذِهِ الأُمَّةِ الْيَوْمَ شَيْئًا لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ سَلَفُهَا فَقَدْ زَعَمَ أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ  صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  خَانَ الرِّسَالَةَ لِأَنَّ اللهَ تَعَالىَ يَقُوْلُ ﴿ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْأِسْلامَ دِيناً﴾ (المائدة:3) فَمَا لَمْ يَكُنْ يَوْمَئِذٍ دِيْنًا لاَ يَكُوْنُ الْيَوْمَ دِيْنًا

“Barangsiapa yang mengada-adakan perkara yang baru di umat ini yang tidak pernah dilakukan oleh orang-orang terdahulu maka dia telah menuduh bahwa Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam telah mengkhianati risalah Allah karena Allah telah berfirman :

﴿ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْأِسْلامَ دِيناً﴾ (المائدة:3)

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu”(QS. 5:3)

Maka perkara apa saja yang pada hari itu (pada masa Rasulullah) bukan merupakan perkara agama maka pada hari ini juga bukan merupakan perkara agama.”
 (Al-Ihkam, karya Ibnu Hazm 6/255)

Kalau hal itu merupakan kebaikan tentu Rasulullah telah mengajarkannya kepada umatnya. Jika hal yang paling sepele saja (seperti adab makan, adab minum, sampai adab buang air) Rasulullah mengajarkannya apalagi hal-hal yang berkaitan dengan ibadah yang sangat agung yaitu berdzikir kepada Allah, tentunya Rasulullah lebih memperhatikannya untuk mengajarkannya kepada ummatnya. Oleh karena itu Abdullah bin Mas’ud mengatakan kepada mereka “Demi Dzat Yang jiwaku berada di tanganNya, sesungguhnya kalian sedang berada pada suatu agama yang lebih baik daripada agamanya Muhammad atau kalian adalah pembuka pintu kesesatan”. Karena perbuatan mereka dengan mengadakan dzikir dengan cara yang khusus (yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah) secara tidak langsung menunjukan bahwa apa yang dicontohkan oleh Rasulullah kurang bagus sehingga mereka perlu mengadakan model baru dalam beribadah.

Allah berfirman:

وَقَالَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا لِلَّذِيْنَ آمَنُوْا لَوْ كَانَ خَيْرًا مَا سَبَقُوْنَا إِلَيْهِ

Artinya: "Dan orang-orang kafir berkata kepada orang-orang yang beriman (yaitu para sahabat Nabi): "Kalau sekiranya dia (Al-Quran) adalah suatu kebaikan, tentulah mereka (orang-orang beriman) tiada mendahului kami (untuk beriman) kepadanya". (Al-Ahqof: 11)

Berkata Ibnu Katsir (tafsir surat Al-Ahqof ayat 11) menafsirkan ayat ini: "Adapun Ahlus Sunnah Wal Jama'ah maka mereka mengomentari setiap perbuatan dan perkataan yang tidak datang dari para sahabat (bahwa perbuatan dan perkataan tersebut) adalah bid'ah, karena kalau seandainya perkataan dan perbuatan tersebut baik tentunya mereka (para sahabat) telah mendahului kita untuk melakukannya sebab mereka tidaklah meninggalkan satupun kebaikan kecuali mereka bersegera untuk melakukannya"


Renungan…


Kita ketahui bersama bahwa sholat berjama’ah adalah perkara yang baik dan dianjurkan. Kita juga tahu bahwa sholat tahiyyatul masjid adalah perkara yang baik dan dianjurkan. Seandainya sekarang sekelompok orang setiap masuk masjid mereka melaksanakan sholat tahiyyatul masjid secara berjamaah apakah merupakan perkara yang baik??, tentu akan ada banyak orang yang mengingkari perbuatan mereka, karena perbuatan mereka itu sama sekali tidak pernah dilakukan oleh siapapun sebelum mereka, dan mereka telah terjatuh dalam bid’ah (walaupun mereka memandang apa yang mereka lakukan itu merupakan kebaikan).

Seandainya ada orang yang melaksanakan umroh kemudian mereka setiap sekali putaran thowaf ia sholat, apakah perbuatannya itu baik?? Tentu tidak, ia akan diingkari oleh semua orang karena perbuatannya itu tidak ada contohnya (walaupun sholat adalah perkara yang baik). Tidak ada jalan lain bagi kita untuk melarangnya kecuali kita mengatakan bahwa Rasulullah tidak pernah mencontohkan tata cara demikian.

Demikian juga seandainya jika seeorang yang sa’i antara sofa dan marwah kemudian setiap ia sampai di safa atau di marwa ia sholat sunnah karena bersyukur kepada Allah, apakah perbuatannya itu baik?? Tidak ada jalan lain bagi kita untuk melarangnya kecuali kita katakan kepadanya bahwa Rasulullah tidak pernah melakukan tata cara demikian.

Atau jika ada seseorang yang setiap mau keluar dari mesjid ia berhenti sebentar dipintu mesjid untuk membaca ayat kursi, surat Al-Falaq dan An-Naas dengat niat meminta perlindungan kepada Allah dari gangguan syaitan karena banyak syaithon berkeliaran di luar mesjid. Maka jelas ini adalah perbuatan bid’ah walaupun sepintas apa yang di lakukannya itu sangat baik. Dan kita tidak bisa mengingkarinya karena ia akan berdalil dengan dalil-dalil yang menjelaskan fadilah dan keutamaan membaca ayat kursi, surat Al-Falaq dan surat An-Naas. Kita tidak bisa mengingkarinya kecuali dengan mengatakan bahwa apa yang engkau lakukan tidak pernah dicontohkan oleh Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya.

عن سعيد بن المسيب أَنَّهُ رَأَى رَجُلاً يُصَلِّي بَعْدَ طُلُوْعِ الْفَجْرِ أَكْثَرَ مِنْ رَكْعَتَيْنِ يُكْثِرُ فِيْهَا الرُّكُوْعَ وَالسُّجُوْدَ فَنَهَاهُ فَقَالَ : ياَ أَبَا مُحَمَّدٍ يُعَذِّبُنِي اللهُ عَلَى الصَّلاَةِ؟ قَالَ : لاَ وَلَكِنْ يُعَذِّبُكَ عَلَى خِلاَفِ السُّنَّةِ

Dari Sa’id bin Al-Musayyib (yang merupakan seorang tabi’in -generasi setelah generasi sahabat- yang tersohor dengan ketakwaan dan kefaqihannya dalam perkara-perkara agama-pen) dia melihat seseorang setelah terbit fajar (setelah adzan subuh) sholat lebih dari dua rakaat, ia memperbanyak rukuk dan sujud dalam sholatnya tersebut. Maka Said bin Al-Musayyibpun melarangnya, orang itu berkata kepada Sa’id bin Al-Musayyib, “Wahai Abu Muhammad, apakah Allah akan mengadzabku karena aku sholat?”, Sa’id menjawab, “Tidak, tetapi Allah mengadzabmu karena engkau menyelisihi sunnah” (Dirwiayatkan oleh Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubro (2/466) dan Abdurrozaq dalam musonnaf beliau (3/52))

Larangan Sa’id bin Al-Musayyib kepada orang itu karena tidak dikenal ada sholat sunnah antara adzan subuh dan iqomat kecuali dua rakaat sebelum sholat subuh. Oleh karena itu jika ada seseorang sholat dengan rakaat yang banyak sekali sebelum sholat subuh maka ia telah melanggar sunnah Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam. Wallahu a’lam bis sowab.
Ustadz Abu ‘Abdilmuhsin Firanda Andirja

Subscribe to receive free email updates:

Faedah

Kumpulan ceramah MP3 kajian ilmiah

Kumpulan ceramah MP3 kajian ilmiah tentang Terorisme, Demokrasi, Daulah Islamiyyah, Wahabisme, Jihad Islam, Solusi, Golongan yang Selamat dan Penjelasan tentang apa itu Salafi/salafy.

Terorisme

  1. Baca Tempatmu Sebelum Engkau Meledakkan, oleh Ustadz Abu Zubair Al-Hawaary
  2. Terorisme dalam Timbangan Syariat Islam, oleh Syaikh Prof DR Abdur Rozzaq Al Badr
  3. Membongkar Teroris Berkedok Islam, oleh Syaikh Musa alu Nasr
  4. Islam Membawa Kedamaian Bukan Teror, oleh Ustadz Dzkulkarnain
  5. Menyingkap Syubhat Terorisme dan Wahabisme Terhadap Dakwah Ahlus Sunnah, oleh Ustadz Abu Qatadah
  6. Islam Anti Teroris, oleh Ustadz Abu Qotadah
  7. Hukum Bom Bunuh Diri, oleh Ustadz Badrusalam
  8. Islam bukan Teroris, oleh Ustadz Zainal Abidin Syamsudin
  9. Jihad dan Terorisme, oleh Markaz Albani
  10. Neo Khawarij, oleh Ustadz Abu Abdil Muhsin Firanda
  11. Terorisme dan Jihad, oleh Ustadz Abu Haidar
  12. Membongkar Akar Kesesatan Teroris, oleh Ustadz Abdurahman Thoyyib
  13. Tanya Jawab Tentang Terorisme, oleh Ustadz Abu Abdil Muhsin Firanda
  14. Apakah Teroris dan Bom Bunuh diri Itu Termasuk Dosa Besar, oleh Ustadz Zainal Abidin Syamsudin

Jihad

  1. Apa Makna Jihad dan Apakah Menafkahi Keluarga Termasuk Jihad? oleh Ustadz Zainal Abidin
  2. Kedudukan Jihad, oleh Ustadz Yazid Jawas
  3. Hukum dan Kaidah Jihad, oleh Ustadz Ali Musri
  4. Meluruskan Pemahaman Jihad, oleh Ustadz Zainal Abidin Syamsudin

Wahabisme

  1. Apa itu Wahabi, oleh Ustadz Zainal Abidin Syamsudin
  2. Sejarah Wahhabi, oleh Ustadz Zainal Abidin Syamsudin
  3. Meluruskan Sejarah Wahhabi oleh Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawy
  4. Apa Itu Wahabi, oleh Ustadz Dr. Ali Musri, MA
  5. Menyingkap Syubhat Terorisme dan Wahabisme Terhadap Dakwah AhlusSunnah, oleh Ustadz Abu Qatadah
  6. Pro Kontra Dakwah Wahhabi, oleh Ustadz Badrusalam
  7. E-Book The Wahhabi Myth – Menyingkap Mitos Wahhabi, Penulis : Haneef James Oliver

Demokrasi dan Daulah Islamiyyah

  1. Hukum Demokrasi dan Seputar Daulah, oleh Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat
  2. Haruskah tinggalkan Demokrasi, oleh Ustadz Abu Ihsan Al-Atsary
  3. Masalah Pemilu oleh Ustadz Abu Ihsan Al-Atsari
  4. Manhaj Ahlussunnah Dalam Berinteraksi Dengan Penguasa, oleh Ustadz Zainal Abidin Syamsudin

Solusi Untuk Kejayaan Ummat

  1. Meraih Kembali Kejayaan Islam, oleh Ustadz Zainal Abidin Syamsudin
  2. Menyongsong Kejayaan Ummat Islam, oleh Ustadz Abu Qatadah
  3. Solusi Menghadapi Fitnah, oleh Ustadz Zainal Abidin Syamsudin
  4. Jalan Meraih Kemuliaan, oleh Ustadz Abu Haidar
  5. Tasfiyah Wa Tarbiyah, oleh Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat

Jalan Kebenaran Hanyalah Satu

  1. Jalan Golongan yang Selamat, oleh Ustadz Yazid Jawas
  2. Golongan Selamat (Firqotun Najiyah), oleh Ustadz Abu Qatadah
  3. Hanya yang Mengikuti Jalan Hidup Nabi dan Sahabat yang Benar, Merekalah yang Pantas Masuk Surga, oleh Ustadz Abdul Haq

Siapakah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Golongan yang Mendapat Pertolongan

  1. Ahlus Sunnah Wal Jamaah, oleh Ustadz Yazid Jawas
  2. Aqidah Ahlussunnah & Jama’ah, oleh Ustadz Zainal Abidin Syamsudin
  3. Pengertian dan Makna As Sunnah, oleh Ustadz Yazid Jawas
  4. Gigitlah Sunnah, oleh Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat
  5. Hakikat Manhaj Ahlussunnah Wal Jamah, oleh Ustadz Firdaus Sanusi
  6. Kembali Kepada Al-Quran dan As-Sunnah, oleh Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat
  7. Iman menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah, oleh Ustadz Zainal Abidin Syamsudin
  8. Karakteristik Ahlus Sunnah Wal Jamaah, oleh Ustadz Arif Syarifuddin

Apa itu Salafi/Salaf/Salafy

  1. Salaf itu Apa ? oleh Ustadz Abu Ihsan Al-Atsary
  2. Arti salaf dan kewajiban mengikutinya, oleh Ustadz Abu Ihsan Al-Atsary
  3. Apakah salafi golongan, oleh Ustadz Abu Ihsan Al-Atsary
  4. 6 Pilar Dakwah Salafiyah, oleh Ustadz Abu Qotadah
  5. Mengapa Memilih Manhaj Salaf oleh Ustadz Aunur Rafiq
  6. Mengapa Harus Manhaj Salaf, oleh Ustadz Abu Haidar
  7. Mengenal Salafiyyah Dari Dekat, oleh Ustadz Abu Ihsan Al-Atsary
  8. Benarkah Salafiyiin itu Anti Persatuan, oleh Ustadz Yazid Jawas
  9. Apa yang Dimaksud Salafiyah itu Bagaimana ciri-cirinya dan Wajibkah Mengikutinya
  10. Buku Putih Dakwah Salafiah, oleh Ustadz Zainal Abidin Syamsudin
  11. Manhaj Salaf oleh Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat
  12. Membantah Tuduhan Terhadap Subhat Salaf, oleh Ustadz Zainal Abidin Syamsudin
  13. Syubhat Buku Beda Salaf dengan Salafy, oleh Ustadz Zainal Abidin Syamsudin

Pengajian Agama untuk Pemula

Ceramah-ceramah MP3 pendidikan agama Islam yang berguna bagi pemula yang ingin mendalami Agama Islam secara benar sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah.

Tauhid – Aqidah

  1. Apa Itu Islam, Iman dan Ihsan, oleh Ustadz Armen Halim Naro, Rahimahullah
  2. Kalimat Tauhid La Illaha Illallah, Ustadz Abdurrahman Thayyib
  3. Tauhid Pemula, Ustadz Agus Hasan Bashori
  4. Makna Syahadat, oleh Ustadz Ahmad Rafi’i
  5. Dasar – Dasar Aqidah, oleh Ustadz Zainal Abidin Syamsudin
  6. Cara Mudah Memahami Tauhid, oleh Ustadz Abu Qatadah
  7. Kiat Ikhlas, oleh Ustadz Abdullah Taslim, MA
  8. Dimana Allah? oleh Ustadz Abu Ihsan Al-Atsary
  9. Tiga Landasan Utama, oleh Ustadz Yazid Jawas
  10. Syarah Al-Aqidah Ath-Thahawiyah, oleh Ustadz Abdullah Hadrami

Keimanan

  1. Cabang-Cabang Keimanan, oleh Syaikh Prof DR Abdur Rozzaq Al Badr
  2. Iman Bertambah dan Berkurang, oleh Ustadz Zainal Abidin
  3. Iman menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Zainal Abidin Syamsudin
  4. Mencintai Keimanan, oleh Ustadz Abu Zubair Al-Hawaari
  5. Mengamalkan Rukun Islam dan Iman, oleh Ustadz Abu Ihsan Al-Atsary
  6. Pembatal Keimanan, oleh Ustadz Abu Ihsan Al-Atsary
  7. Sebab-sebab Naik dan Turunnya Keimanan seorang Hamba, oleh Ustadz Abu Qotadah
  8. Sebab-Sebab Turunnya Iman, oleh Syaikh Prof DR Abdur Rozzaq Al Badr
  9. Sebab-Sebab Bertambahnya Iman, oleh Syaikh Prof DR Abdur Rozzaq Al Badr
  10. Terapi Mengatasi Lemah Iman, oleh Ustadz Abu Haidar

Rukun Iman

  1. Penjelasan Rukun Iman, oleh Ustadz Abu Haidar
  2. Iman Kepada Allah, Ustadz Yazid Jawas
  3. Iman Kepada Allah dan Hikmahnya, oleh Ustadz Yazid Jawas
  4. Iman Kepada para Rosul, oleh Ustadz Yazid Jawas
  5. Iman Kepada Malaikat, oleh Ustadz Yazid Jawas
  6. Iman kepada Hari Akhir, oleh Ustadz Yazid Jawas
  7. Iman Kepada Hari Kiamat, oleh Syaikh Prof DR Abdur Rozzaq Al Badr
  8. Iman Kepada Takdir Yang Baik dan Buruk, oleh Ustadz Abdullah Taslim
  9. Iman Kepada Takdir, oleh Ustadz Abu Haidar
  10. Rukun Iman (Syarah Ushul Iman), oleh Ustadz Abdullah Hadrami

Sunnah

  1. Adab Menjaga Sunnah, oleh Ustadz Armen Halim Naro, Rahimahullah
  2. Aqidah Ahlussunnah Wal Jamaa’ah, oleh Ustadz Ahmad Rafi’i
  3. Nikmatnya Belajar Ilmu Sunnah, oleh Ustadz Abdullah Taslim

Fiqih

  1. Perlukah Kita Bermadzhab? oleh Ustadz Musyaffa’ Ad-Dariny
  2. Sifat Wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, oleh Ustadz Abu Qotadah
  3. Sifat Sholat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, oleh Ustadz Dzulkarnaen

Pentingnya Ilmu Agama

  1. Keutamaan Ilmu, oleh Ustadz Abdullah Taslim
  2. Keutamaan Mempelajari Ilmu Agama, oleh Ustadz Zainal Abidin
  3. Keutamaan Ilmu, oleh Syaikh Prof DR Abdur Rozzaq Al Badr
  4. Bingkisan Bagi Perindu Surga, oleh Ustadz Abdullah Taslim
  5. Indahnya Taman Ilmu, oleh Ustadz Abdullah Taslim
  6. Keutamaan Menuntut Ilmu, oleh Ustadz Firanda Andirja
  7. Keutamaan Menuntut Ilmu, oleh Ustadz Yazid Jawas
  8. Keutamaan Menuntut Ilmu dan Mengajarkannya, oleh Ustadz Abu Haidar
  9. Kobarkan Semangat Menuntut Ilmu di Hatimu, oleh Ustadz Abu Isa
  10. Ilmu, oleh Ustadz Abu Haidar
  11. Adab dan Akhlak Penuntut Ilmu, oleh Ustadz Yazid Jawas
  12. Adab Menuntut Ilmu, oleh Abdurahman Thayib
  13. Adab-adab Dalam Menuntut Ilmu, oleh Ustadz Muhammad Nur Ihsan
  14. Ciri-Ciri Ilmu yg Bermanfaat, oleh Ustadz Abu Ihsan al-Atsary
  15. Ilmu & Dajjal, oleh Ustadz Armen Halim Naro
  16. Faedah 6 Syarat Memperoleh Ilmu, oleh Ustadz Abu Ihsan Al-Atsary
  17. Ilmu Syari Penangkal Aliran Sesat, oleh Ustadz Ali Nur
  18. Ilmu, Amal, Dakwah & Istiqomah, oleh Ustadz Yazid Jawas
  19. Islam Dibangun Diatas Ilmu, oleh Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat
  20. Jangan Bosan Menuntut Ilmu, oleh Ustadz Abdullah Taslim
  21. Keagungan Ilmu dan Alquran, oleh Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat
  22. Keutamaan Dakwah diatas Ilmu, oleh Ustadz Firanda Andirja
  23. Nasihat Bagi Penuntut Ilmu dan Pemuda, oleh Ustadz Abu Ihsan Al-Atsary
  24. Pentingnya Mengamalkan Ilmu, oleh Ustadz Firanda Andirja

Takdir

  1. Beriman dengan Takdir Allah, oleh Ustadz Abdurahman Thayyib
  2. Iman Kapada Takdir, oleh Syaikh Prof DR Abdur Rozzaq Al Badr

Dosa dan Maksiat

  1. Dosa dan Dampak Negatifnya, oleh Ustadz Abu Umar Basyier
  2. Dosa-dosa besar, oleh Ustadz Yazid Jawas
  3. Kiat-kiat menjaga diri dari gangguan syaitan, oleh Ustadz Arman Bin Amri

Muamalah

  1. Arti dan Konsekuensi Amanat, oleh Ustadz Agus Hasan Bashori
  2. Menggapai Surga dengan Akhlaq Mulia, oleh Ustadz Abu Qatadah

Kehidupan Akhirat

  1. Dzikrul Maut (mengingat kematian), oleh Ustadz Qurtifa Wijaya
  2. Rintangan setelah kematian, oleh Ustadz Zaenal Abidin Syamsudin
  3. Jagalah Dirimu dan Keluargamu dari Api Neraka, oleh Ustadz Yazid Jawas